Benarkan pemberian susu saat anak diare tidak memberikan dampak buruk bagi kesehatannya?&nbsp;

Pencernaan

Masalah Kesehatan

Diare merupakan penyakit yang dialami seseorang ketika frekuensi buang air besar lebih banyak dari biasanya dengan keadaan tinja yang lebih cair. Kondisi diare biasanya berlangsung kurang dari seminggu.&nbsp;
Dilansir World Health Organization, diare pada anak termasuk dalam salah satu masalah kesehatan yang menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak di negara berkembang.
Dalam kondisi ini, AyBun perlu mengontrol asupan makanan dan minuman saat diare perlu diperhatikan agar tidak memperparah kondisi tubuh saat diare. Lalu apakah boleh minum susu saat diare? Simak penjelasannya di bawah ini.
<h2>Penyebab Diare Akut pada Anak</h2>
Diare pada anak terjadi karena beberapa penyebab, AyBun. Mulai dari infeksi, intoleransi, hingga penggunaan antibiotik pada anak dan beberapa penyebab lainnya.
<h3>1. Bakteri</h3>
Bakteri merupakan salah satu penyebab diare pada anak dengan kondisi sakit perut hebat, buang air besar dalam frekuensi yang sering, hingga demam tinggi. Ada beberapa bakteri yang dapat menyebabkan diare:
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Escherichia coli, makanan atau minuman yang telah terkontaminasi bakteri ini akan menyebabkan diare, biasanya bakteri ini terdapat di mentimun, keju, bayam, produk susu, hingga daging sapi.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Shigella spp, bakteri ini dapat menyebabkan kram perut, diare cair, dan demam jika tak sengaja masuk ke dalam mulut. Shigella spp biasanya hadir di lingkungan yang memiliki sanitasi buruk dan di tempat umum. Usahakan anak tidak sembarangan untuk memegang benda yang kotor.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Salmonella spp, terdapat di saluran usus hewan yang ditularkan ke manusia melalui makanan yang terkontaminasi kotoran hewan. Bakteri ini juga sering muncul pada makanan yang tidak dimasak secara sempurna.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Vibrio cholerae, jika terinfeksi bakteri ini, feses akan berbentuk sangat cair hingga 1L per jam, tidak berwarna, dan berlendir. Bakteri ini biasanya terdapat dalam makanan laut, sayur, buah, dan biji-bijian. Usahakan untuk memakan hidangan yang fresh dan bersih, ya!</li>
</ul>
<h3>2. Virus</h3>
Pada usia 3-24 bulan, rotavirus menjadi salah satu penyebab diare pada anak. Infeksi virus ini dapat menyebabkan diare pada bayi dan anak-anak terutama di tempat yang memiliki sanitasi yang buruk.
Rotavirus merupakan salah satu virus penyebab diare yang penularannya melalui fecal-oral, yakni feses penderita yang tidak sengaja masuk ke mulut orang yang sehat. Virus ini dapat mengontaminasi air, makanan, dan minuman anak.&nbsp;
Agar si kecil tak terkena rotavirus, usahakan untuk menjaga lingkungan tetap bersih dan mencuci tangan, ya!
<h3>3. Parasit</h3>
Parasit seperti giardia lamblia dan entamoeba histolytica dapat menjadi penyebab diare pada anak.&nbsp;
giardia lamblia kerap kali hadir melalui makanan yang terkontaminasi secara fekal-oral, sedangkan entamoeba histolytica hadir saat infeksi parasit tersebut terkena kontak makanan atau air secara langsung.
<h2>Bagaimana Cara Mengatasi Diare pada Anak</h2>
Diare akut terjadi saat frekuensi BAB lebih sering (&gt;3 kali/hari) dan konsistensi tinja lebih cair dari biasanya yang berlangsung &lt;14 hari yang diakibatkan Infeksi virus dan paling sering ditemui pada anak balita. Lalu bagaimana cara menanganinya?
Langkah awal menangani diare akut pada anak:
<ol>
<li> Berikan cairan oralit guna mencegah/mengatasi dehidrasi,</li>
<li> Berikan tablet zinc 10 hari berturut-turut,</li>
<li> Lanjutkan pemberian makanan kaya nutrisi, termasuk susu selama diare tetap dilanjutkan.</li>
</ol>
Anak diare tetap boleh minum susu dengan takaran biasa dan tidak perlu diencerkan. Studi menunjukkan susu yang diencerkan tidak membuat frekuensi diare berkurang bahkan berisiko menyebabkan anak kekurangan nutrisi. Beberapa kasus diare akut dapat disebabkan oleh intoleransi laktosa, dengan tanda:
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Diare cair dan berbau asam</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Sering buang angin, kembung, nyeri perut</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Sekitar anus kemerahan</li>
</ul>
Bila terjadi hal-hal di atas perlu konsultasi ke dokter untuk pertimbangan penggantian susu dan segera bawa anak ke fasilitas kesehatan jika:
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Usia &lt;6 bulan</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Diare lebih dari 3 hari</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Tinja berdarah</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Ada tanda dehidrasi seperti pucat, mata cekung, rewel, lemas, tangan dan kaki dingin&nbsp;</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Penurunan kesadaran</li>
</ul>
<h2>Apakah Anak Boleh Minum Susu saat Diare?</h2>
Memberikan makanan dan minuman yang tepat sangat penting selama diare berlangsung. Pada jurnal Pediatrics yang diterbitkan pada tahun 1996, para peneliti menemukan bahwa memberikan susu dalam jumlah yang sedang tidak memberikan dampak buruk pada anak yang mengalami diare.
Dilansir IDAI, mempuasakan anak yang sedang menderita diare hanya akan memperpanjang durasi diare. Pemberian air susu ibu dapat diberikan secara rutin.
Namun, pada bayi yang telah meminum susu formula, AyBun bisa memberikan susu tanpa laktosa jika anak mengalami diare karena intoleransi laktosa berat dan diarenya bertambah saat diberikan susu tersebut.
Intoleransi laktosa ini biasanya terjadi dalam satu minggu dan akan normal ketika epitel mukosa usus mengalami regenerasi. Setelah itu, AyBun bisa memberikan susu yang biasa dikonsumsi oleh bayi.
Nah, itu dia penjelasan lengkap mengenai minum susu saat diare pada anak. Pemberian ASI dapat diberikan secara rutin, tetapi jika terjadi intoleransi laktosa, AyBun dapat memberikan susu bebas laktosa hingga diare sembuh.
Usahakan untuk menjaga kebersihan lingkungan agar anak tidak terpapar virus, bakteri, hingga parasit penyebab diare.
Foto: Pexels.com
Sumber:&nbsp;
MacGillivray S, Fahey T, McGuire W. Lactose avoidance for young children with acute diarrhoea (review). Cochrane Database Syst Rev. 2013;2013:CD005433.
https://www.uptodate.com/contents/acute-diarrhea-in-children-beyond-the-basics
https://www.idai.or.id/artikel/klinik/keluhan-anak/bagaimana-menangani-diare-pada-anak

Minum Susu saat Diare, Boleh atau Dilarang?

Usia Berapa Anak Boleh Memiliki Media Sosial Sendiri

Kapan anak boleh memiliki media sosial sendiri? Yuk, AyBun, ketahui batas usia, dampak media sosial, pentingnya screen time, serta tips mengenalkan teknologi dengan aman bagi Si Kecil!

Kesehatan Anak

Sebagai orang tua di era digital, AyBun tentu sering melihat anak-anak yang semakin akrab dengan gadget sejak dini. Bahkan, mungkin Si Kecil sudah mulai tertarik melihat AyBun bermain media sosial atau meniru aktivitas online yang dilakukan orang dewasa. Dari sini, muncul pertanyaan penting: kapan sebenarnya anak boleh memiliki akun media sosial sendiri?
Meskipun saat ini Si Kecil mungkin masih balita, AyBun tentu ingin memahami lebih awal tentang dunia digital yang akan dihadapi anak nantinya. Dengan banyaknya manfaat sekaligus risiko yang ada di media sosial, penting bagi orang tua untuk mengetahui aturan usia yang direkomendasikan, dampaknya bagi perkembangan anak, serta cara terbaik untuk mengenalkan teknologi secara aman dan bijak.
Di artikel ini, kita akan membahas berbagai pertimbangan penting sebelum anak memiliki media sosial, termasuk aturan dari berbagai platform, dampak psikologis, serta tips agar Si Kecil bisa tumbuh di era digital dengan sehat dan terlindungi. Yuk, simak sampai selesai!&nbsp;
<h2>Batas Usia Anak Menggunakan Media Sosial</h2>
Sebagian besar platform media sosial menetapkan batas usia minimum 13 tahun, sesuai dengan Children&rsquo;s Online Privacy Protection Act (COPPA) yang melarang pengumpulan data anak di bawah usia tersebut tanpa izin orang tua. Namun, setiap platform memiliki kebijakan masing-masing:
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Facebook, Instagram, TikTok, Twitter, dan Snapchat &rarr; 13 tahun</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">WhatsApp &rarr; 16 tahun di beberapa negara</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">YouTube &rarr; 13 tahun untuk akun reguler, tetapi YouTube Kids tersedia untuk anak di bawah usia tersebut</li>
</ul>
Meskipun aturan ini ada, banyak anak yang tetap bisa membuat akun dengan mudah. Oleh karena itu, peran AyBun sangat penting dalam mengawasi dan membimbing anak dalam mengenal dunia digital agar aman dan sesuai dengan usia mereka.
<h2>Dampak Media Sosial bagi Anak: Manfaat dan Risikonya</h2>
Media sosial memiliki dua sisi bagi anak-anak, di satu sisi dapat memberikan manfaat, namun di sisi lain juga berisiko jika tidak digunakan dengan bijak.
<h4>Manfaat Media Sosial bagi Anak</h4>
<ol>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Membangun Hubungan Sosial &ndash; Anak dapat terhubung dengan keluarga, teman, dan komunitas yang memiliki minat serupa.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Menjadi Sarana Belajar &ndash; Banyak platform menyediakan informasi edukatif yang dapat membantu perkembangan anak.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Menunjang Kreativitas &ndash; Anak bisa mengekspresikan diri melalui gambar, video, atau tulisan.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Meningkatkan Rasa Percaya Diri &ndash; Dukungan positif dari lingkungan digital dapat membantu anak lebih percaya diri.</li>
</ol>
<h4>Risiko Media Sosial bagi Anak</h4>
<ol>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Terpapar Konten Tidak Pantas &ndash; Anak bisa menemukan konten kekerasan, pornografi, atau ujaran kebencian.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Cyberbullying &ndash; Pelecehan dan perundungan online bisa berdampak buruk pada kesehatan mental anak.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Ketergantungan dan Gangguan Tidur &ndash; Terlalu sering menggunakan media sosial bisa mengganggu pola tidur anak.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Masalah Privasi dan Keamanan &ndash; Anak mungkin membagikan informasi pribadi tanpa menyadari risikonya.</li>
</ol>
Agar anak mendapatkan manfaat maksimal dan terhindar dari risiko, AyBun perlu membimbing dan mengawasi aktivitas digital si kecil dengan bijak.
<h2>Peran Orang Tua dalam Mengenalkan Media Sosial Secara Aman</h2>
Sebagai orang tua, peran dalam mengenalkan media sosial kepada Si Kecil sangatlah penting. Media sosial bisa menjadi sarana edukatif dan hiburan, tetapi tanpa pengawasan, dapat menimbulkan risiko.&nbsp;
Berikut adalah langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk memastikan anak mengenal media sosial secara aman:
<h3>1. Menjadi Role Model dalam Penggunaan Media Sosial</h3>
Anak belajar dari orang tua. Pastikan AyBun menunjukkan kebiasaan digital yang sehat, seperti membatasi waktu penggunaan gadget dan tidak terlalu sering bermain media sosial di depan anak.
<h3>2. Mengatur Batasan Usia dan Waktu Penggunaan</h3>
Tunda pemberian akses media sosial hingga usia yang direkomendasikan. Batasi waktu penggunaan gadget untuk menghindari kecanduan.
<h3>3. Mengawasi dan Berdiskusi Secara Terbuka</h3>
Gunakan fitur parental control untuk memantau aktivitas anak di dunia digital. Ajak anak berdiskusi tentang apa yang mereka lihat di media sosial dan ajarkan mereka berpikir kritis terhadap konten yang ada.
<h3>4. Mengajarkan Keamanan dan Privasi Digital</h3>
Jelaskan pentingnya tidak membagikan informasi pribadi di internet. Ajarkan anak untuk mengenali tanda-tanda cyberbullying dan cara mengatasinya.
Dengan bimbingan yang tepat, AyBun bisa membantu Si Kecil mengenal media sosial secara aman dan bijak, sehingga mereka dapat memanfaatkannya tanpa risiko yang berlebihan.
<h2>Pentingnya Mengatur Screen Time bagi Anak</h2>
Selain memperhatikan batas usia dalam menggunakan media sosial, pengaturan screen time juga menjadi hal yang tidak kalah penting.&nbsp;
Menurut American Academy of Pediatrics (AAP), anak usia 2-5 tahun sebaiknya tidak menghabiskan lebih dari 1 jam per hari di depan layar, sementara anak usia sekolah dan remaja perlu batasan waktu yang konsisten untuk mencegah dampak negatif seperti gangguan tidur, berkurangnya aktivitas fisik, dan kecanduan gadget.
Beberapa langkah yang bisa AyBun lakukan untuk mengatur screen time anak dengan bijak:
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Tetapkan batas waktu sesuai usia dan kebutuhan anak.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Ciptakan zona bebas gadget, misalnya saat makan atau menjelang tidur.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Dorong aktivitas offline, seperti bermain di luar atau membaca buku.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Gunakan parental control untuk mengatur konten yang diakses anak.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Jadilah role model dengan menerapkan kebiasaan digital yang sehat.</li>
</ul>
Dengan membatasi screen time dan mengenalkan media sosial secara bertahap, AyBun dapat membantu Si Kecil tumbuh di era digital dengan lebih sehat dan seimbang.
<h2>Pemerintah Siapkan Regulasi Batas Usia Anak di Dunia Digital</h2>
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) tengah merancang regulasi untuk melindungi anak-anak dari dampak negatif dunia digital. Salah satu fokus utama adalah batas usia anak dalam mengakses platform digital guna mencegah paparan konten berbahaya sejak dini.
Menteri Komdigi Meutya Hafid menegaskan bahwa aturan ini bertujuan agar anak-anak dapat menggunakan internet secara aman dan produktif. Regulasi ini akan dimasukkan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tata Kelola Pelindungan Anak dalam Ruang Digital dan ditargetkan rampung di awal tahun 2025 ini.
<h2>Kesimpulan</h2>
Sebagai orang tua, AyBun berperan penting dalam membimbing Si Kecil mengenal media sosial dengan aman. Meski bermanfaat, media sosial juga memiliki risiko seperti cyberbullying dan paparan konten tidak pantas.
Membatasi waktu penggunaan, mengawasi aktivitas digital, serta mengajarkan privasi dan etika online adalah langkah penting. Regulasi pemerintah akan membantu, tetapi peran utama tetap ada di tangan AyBun. Dengan bimbingan yang tepat, Si Kecil bisa memanfaatkan teknologi secara positif dan aman.

Usia Berapa Anak Boleh Memiliki Media Sosial Sendiri?

Strict parenting atau pola asuh ketat memiliki aturan tegas dan ekspektasi tinggi terhadap anak. Apakah metode ini efektif atau justru berdampak negatif? Temukan manfaat dan risikonya di sini!

Dalam setiap keluarga, orang tua memiliki gaya pengasuhan yang berbeda-beda. Salah satu gaya yang sering ditemui adalah strict parenting atau pola asuh ketat, mirip dengan authoritarian parenting. 
Orang tua yang menerapkan gaya ini cenderung memiliki aturan yang ketat, ekspektasi tinggi, serta memberikan disiplin yang tegas kepada anak-anak mereka. Tujuannya biasanya untuk membentuk anak yang disiplin, bertanggung jawab, dan sukses di masa depan.
Namun, apakah pola asuh yang terlalu ketat benar-benar efektif? Apakah anak yang dibesarkan dengan strict parenting akan tumbuh menjadi individu yang sukses dan bahagia, atau justru mengalami tekanan emosional yang berpengaruh pada kehidupannya di masa depan?
Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang apa itu strict parents,serta manfaat dan dampaknya terhadap perkembangan psikologis dan sosial anak di masa depan.&nbsp;
<h2>Apa Itu Strict Parents?</h2>
Strict parents adalah orang tua yang menerapkan aturan tegas dan mengharapkan anak-anak mereka untuk mematuhinya.&nbsp;
Kata strict sendiri berarti bertindak sesuai dengan prinsip atau persyaratan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, strict parents memiliki batasan yang jelas dan percaya bahwa anak-anak mampu mematuhinya.
Strict parents umumnya menerapkan gaya parenting yang otoriter, di mana mereka memiliki kontrol yang tinggi terhadap anak-anak mereka.&nbsp;
Fokus utama mereka adalah kepatuhan terhadap aturan daripada membangun kemandirian atau memberikan kebebasan pada anak untuk mengambil keputusan sendiri.&nbsp;
<h2>Ciri-ciri Strict Parents</h2>
<h3>1. Banyak Menuntut, Tetapi Tidak Responsif</h3>
Strict parents memiliki banyak aturan dan sering kali mengontrol hampir semua aspek kehidupan anak, baik di rumah maupun di tempat umum.
Mereka juga memiliki aturan yang tidak tertulis, di mana anak diharapkan mengetahui dan mematuhinya tanpa perlu diberi tahu secara eksplisit.
<h3>2. Minim Kehangatan dan Kasih Sayang</h3>
Strict parents sering terlihat dingin, jauh, dan kaku dalam berinteraksi dengan anak. Mereka lebih cenderung memarahi atau mengkritik anak daripada memberikan dorongan dan pujian. Mereka lebih mementingkan disiplin dibandingkan kebahagiaan anak, dengan keyakinan bahwa anak sebaiknya "dilihat, bukan didengar."
<h3>3. Hukuman Tanpa Penjelasan yang Jelas</h3>
Orang tua dengan pola asuh ini sering kali menggunakan hukuman fisik, seperti memukul atau menghukum anak dengan cara yang keras.Mereka jarang memuji atau memberikan afirmasi positif ketika anak berperilaku baik.
Jika aturan dilanggar, mereka bereaksi cepat dengan hukuman yang tegas tanpa menjelaskan alasan di baliknya.
<h3>4. Tidak Memberikan Pilihan pada Anak</h3>
Strict parents tidak memberi anak kebebasan untuk membuat keputusan sendiri. Mereka menerapkan aturan dengan pendekatan "ikut aturan atau keluar dari rumah", tanpa ruang untuk kompromi atau diskusi.
<h3>5. Tidak Sabar terhadap Perilaku Buruk</h3>
Orang tua mengharapkan anak untuk tahu bagaimana harus berperilaku tanpa perlu diberitahu berulang kali. Orang tua strict parents juga cenderung kurang sabar dalam menjelaskan alasan mengapa tidak boleh melakukan sesuai. Mereka juga cenderung mengabaikan perasaan anak dan lebih fokus pada aturan.
<h3>6. Kurang Mempercayai Anak</h3>
Strict parents tidak pernah mempercayai anak untuk membuat keputusan sendiri. Mereka sering kali membatasi kebebasan anak secara berlebihan untuk memastikan anak tidak melakukan kesalahan.
Mereka lebih memilih mengawasi anak secara ketat daripada membiarkan mereka belajar dari kesalahan.
<h3>7. Tidak Mau Bernegosiasi</h3>
Mereka memandang segala sesuatu dalam hitam dan putih&mdash;aturan harus diikuti tanpa pengecualian. Tidak ada ruang untuk kompromi atau diskusi mengenai aturan dalam keluarga.
Anak tidak memiliki hak dalam membuat keputusan yang berhubungan dengan kehidupan mereka sendiri.
<h3>8. Menggunakan Rasa Malu sebagai Alat Disiplin</h3>
Strict parents sering kali menggunakan kritik dan rasa malu untuk membuat anak mereka patuh. Misalnya, seperti:
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">&ldquo;Kenapa kamu selalu seperti ini?&rdquo;</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">&ldquo;Berapa kali harus Ayah/Bunda katakan? Tidak boleh!&rdquo;</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">&ldquo;Kenapa kamu tidak bisa melakukan sesuatu dengan benar?&rdquo;</li>
</ul>
Alih-alih membangun kepercayaan diri anak, mereka percaya bahwa mempermalukan anak akan membuat mereka berperilaku lebih baik.
<h2>Pengaruh Strict Parenting terhadap Anak</h2>
Strict parenting sering dikaitkan dengan aturan yang ketat dan ekspektasi tinggi. Meskipun terkesan kaku, pola asuh ini dapat membentuk anak-anak dengan kedisiplinan tinggi, rasa tanggung jawab, dan tujuan yang jelas dalam hidup.
<h3>1. Anak Terbiasa Mengikuti Aturan</h3>
Anak-anak yang dibesarkan dengan aturan tegas cenderung lebih memahami batasan dan konsekuensi dari tindakan mereka. Hal ini terjadi karena:
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Orang tua menetapkan ekspektasi yang jelas terkait perilaku anak.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Anak belajar memahami aturan dan pentingnya menaati batasan yang ada.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Kesadaran akan konsekuensi membuat mereka lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan.</li>
</ul>
Kedisiplinan yang ditanamkan sejak dini dapat membantu anak menjaga diri dan tetap aman dalam berbagai situasi.
<h3>2. Anak Lebih Terarah dalam Mencapai Tujuan</h3>
Strict parents biasanya memiliki harapan tinggi terhadap anak-anak mereka, yang dapat membentuk pola pikir lebih terarah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa:
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Anak-anak dalam lingkungan dengan aturan tegas cenderung memiliki standar yang tinggi terhadap diri mereka sendiri.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Ekspektasi yang tinggi dapat membantu mereka lebih fokus dan berusaha keras dalam mencapai tujuan.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Studi pada mahasiswa di China menunjukkan bahwa pola asuh otoriter berkaitan dengan pencapaian akademik yang lebih tinggi.</li>
</ul>
Dengan terbiasa menghadapi tantangan dan memenuhi ekspektasi sejak kecil, anak-anak dari keluarga strict parenting sering menunjukkan ketekunan dalam mengejar keberhasilan akademik maupun profesional.
Baca Juga: <a href="https://tentanganak.com/artikel/sikap-anak-di-masa-depan-berdasarkan-tipe-parenting/">Prediksi Sikap Anak di Masa Depan Berdasarkan Tipe Parenting</a>
<h2>Dampak Negatif Menjadi Strict Parents untuk Anak</h2>
Meskipun strict parenting memiliki manfaat tertentu, gaya pengasuhan ini juga dapat berdampak negatif pada anak, terutama jika diterapkan secara berlebihan tanpa keseimbangan dengan kasih sayang dan dukungan emosional.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pola asuh otoriter yang terlalu ketat dapat berdampak buruk pada perkembangan akademik, kesehatan mental, dan keterampilan sosial anak.
<h3>1. Prestasi Akademik yang Lebih Rendah</h3>
Berbeda dengan asumsi umum bahwa aturan ketat meningkatkan prestasi akademik, penelitian menunjukkan bahwa:
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Dalam budaya Barat, pola asuh otoriter, permisif, dan tidak terlibat dikaitkan dengan prestasi akademik yang lebih rendah.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Sebaliknya, pola asuh otoritatif (tegas tetapi tetap mendukung dan komunikatif) justru lebih terkait dengan pencapaian akademik yang lebih tinggi.</li>
</ul>
Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak membutuhkan lebih dari sekadar aturan ketat untuk berkembang di bidang akademik&mdash;mereka juga memerlukan bimbingan yang fleksibel dan motivasi intrinsik.
<h3>2. Tingkat Kepuasan Hidup yang Lebih Rendah</h3>
Pola asuh otoriter yang murni dapat berdampak negatif pada kepuasan hidup anak. Sebuah penelitian yang meneliti hubungan antara kepuasan hidup dan gaya pengasuhan menemukan bahwa:
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh otoriter cenderung memiliki tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidup yang lebih rendah.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Efek negatif ini ditemukan dalam studi yang melibatkan 10 negara berbeda, menunjukkan bahwa dampaknya bersifat universal.</li>
</ul>
Ketika anak merasa terlalu dikendalikan dan tidak memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi minat mereka sendiri, mereka bisa merasa kurang puas dengan hidup mereka.
<h3>3. Meningkatkan Risiko Kecemasan dan Depresi</h3>
Beberapa penelitian menemukan adanya hubungan antara strict parenting dan masalah kesehatan mental, termasuk:
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Peningkatan kecemasan dan stres pada anak-anak yang sering merasa takut akan konsekuensi dari aturan ketat.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Risiko depresi yang lebih tinggi akibat kurangnya dukungan emosional dari orang tua.</li>
</ul>
Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang sangat ketat sering kali mengalami tekanan yang besar, yang dapat berdampak pada kesejahteraan emosional mereka dalam jangka panjang.
<h3>4. Kesulitan dalam Mengambil Keputusan</h3>
Pola asuh yang terlalu ketat juga dapat membuat anak-anak mengalami:
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Tingkat kepercayaan diri yang lebih rendah.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Ketergantungan pada orang lain untuk membangun rasa percaya diri mereka.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Kesulitan dalam mengambil keputusan karena mereka terbiasa mencari persetujuan dari orang tua sebelum bertindak.</li>
</ul>
Sebuah studi tahun 2006 pada orang tua di budaya Asia menunjukkan bahwa anak-anak dengan strict parents sering kali memiliki harga diri yang lebih rendah.&nbsp;
Mereka cenderung ragu dalam mengambil keputusan karena takut melakukan kesalahan atau tidak mendapatkan persetujuan dari orang tua mereka.
<h3>5. Intensitas Konflik yang Lebih Tinggi dengan Orang Tua</h3>
Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan dengan aturan yang sangat ketat seringkali lebih cenderung memberontak. Sebuah penelitian di China menemukan bahwa:
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Remaja yang memiliki orang tua dengan pola asuh otoriter atau tidak terlibat melaporkan tingkat konflik yang lebih tinggi dengan orang tua mereka.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Semakin keras aturan yang diterapkan, semakin tinggi kemungkinan anak untuk melawan atau mencari cara untuk melanggar aturan tersebut.</li>
</ul>
Hal ini dapat menciptakan hubungan yang penuh ketegangan antara orang tua dan anak, yang pada akhirnya bisa merusak komunikasi dan kedekatan emosional dalam keluarga.
<h2>Kesimpulan</h2>
Strict parenting memang dapat memberikan manfaat tertentu, seperti kedisiplinan yang tinggi dan tujuan hidup yang lebih terarah. Namun, gaya pengasuhan yang terlalu ketat juga berisiko menimbulkan dampak negatif, seperti rendahnya kepuasan hidup, meningkatnya kecemasan, serta kesulitan anak dalam mengambil keputusan dan menjalin hubungan sosial.
Sebagai orang tua, penting untuk memahami bahwa setiap anak memiliki kebutuhan dan karakter yang berbeda. Menerapkan pola asuh yang terlalu kaku tanpa mempertimbangkan perasaan dan perkembangan emosional anak justru bisa menghambat pertumbuhan mereka. Oleh karena itu, cobalah untuk tidak terjebak dalam strict parenting yang berlebihan.
Sebagai alternatif, pertimbangkan gaya asuh authoritative parenting, yang mengombinasikan kedisiplinan dengan kehangatan, komunikasi terbuka, serta penghargaan terhadap pendapat anak. Dengan pola asuh ini, orang tua tetap dapat menanamkan nilai-nilai kedisiplinan tanpa mengorbankan kebahagiaan dan kesehatan mental anak.&nbsp;
Memberikan keseimbangan antara aturan dan kebebasan akan membantu anak tumbuh menjadi individu yang mandiri, percaya diri, dan memiliki hubungan yang harmonis dengan orang tua.

Apa Itu Strict Parents dan Dampaknya untuk Anak di Masa Depan

Asah Kecerdasan Anak dengan Bercerita Senandung Kejora

Beberapa manfaat menceritakan buku cerita ke anak yakni pengembangan kosakata dan bahasa, meningkatkan kemampuan berpikir kritis, berimajinasi, empati, dan pemahaman sosial. Gunakan Buku Senandung Kejora dari Tentang Anak untuk asah kemampuan bahasa dan motorik

Dalam suasana liburan di rumah, tak ada yang lebih menarik daripada mengisi waktu bersama keluarga dengan aktivitas yang bermanfaat. Salah satu kegiatan yang dapat memberikan pengalaman mengesankan sekaligus merangsang kecerdasan anak adalah aktivitas bercerita.&nbsp;
<h2>Manfaat Cerita dalam Meningkatkan Kecerdasan Anak</h2>
Meskipun terdengar sederhana, bercerita memiliki potensi besar untuk merangsang imajinasi,&nbsp; meningkatkan kemampuan bahasa dan memperkuat ikatan emosional dengan si kecil. Berikut manfaat bercerita dalam mengasah kecerdasan anak:
<h3>Pengembangan Kosakata dan Bahasa</h3>
Membacakan cerita kepada anak-anak secara signifikan meningkatkan kosakata dan kemampuan bahasa mereka. Saat mendengarkan cerita, anak-anak terpapar pada kata-kata baru dan struktur kalimat yang lebih kompleks.
Hal ini membantu mereka memahami dan menguasai bahasa dengan lebih baik. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang sering mendengarkan cerita memiliki kemampuan bahasa yang lebih baik dibandingkan dengan yang jarang mendengar cerita.
<h3>Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Imajinasi</h3>
Bercerita dapat merangsang imajinasi anak dan membantu mereka mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Saat mendengarkan atau membaca cerita, anak-anak belajar membuat prediksi, memahami alur cerita, dan mengenali karakter serta motif mereka. Hal ini merupakan dasar untuk membentuk keterampilan berpikir kritis.
<h3>Mengembangkan Empati dan Pemahaman Sosial</h3>
Cerita sering kali mencakup berbagai karakter dan situasi yang mengajarkan anak-anak tentang beragam jenis emosi, hubungan sosial, dan nilai moral yang berlaku. Dengan memahami perasaan dan tindakan karakter dalam cerita, anak-anak belajar mengenali dan memahami emosi mereka sendiri serta orang lain. Ini membantu mereka mengembangkan empati dan keterampilan sosial yang lebih baik.
<h2>Cara Meningkatkan Kecerdasan Anak dengan Cerita</h2>
Beberapa cara yang bisa dilakukan AyBun untuk meningkatkan kecerdasan anak melalui bercerita ialah:&nbsp;
<h3>Membacakan Cerita Secara Teratur</h3>
Luangkan waktu setiap hari untuk membacakan cerita kepada anak-anak. Pilih berbagai jenis buku yang sesuai dengan usia dan minat mereka. Libatkan anak-anak dalam cerita dengan mengajukan pertanyaan tentang alur cerita dan karakter. Ini akan membantu mereka berpikir lebih dalam tentang apa yang mereka dengar dan lihat.
<h3>Menggunakan Buku Bergambar dan Interaktif</h3>
Memanfaatkan buku bergambar interaktif sangat efektif untuk menarik minat anak-anak dan meningkatkan keterlibatan mereka dalam aktivitas bercerita. Buku-buku dengan ilustrasi yang menarik dan teks yang interaktif membantu anak-anak untuk lebih memahami cerita dan membuat proses membaca juga menjadi lebih menyenangkan.
Khususnya untuk anak-anak usia dini yang sedang mengenal di tahap eksplorasi, buku bergambar dengan warna-warna cerah dapat sangat membantu menarik perhatian mereka. Penting juga untuk memilih teks yang sesuai dengan pemahaman anak-anak.
Memilih buku cerita dengan beragam aktivitas juga dapat meningkatkan antusiasme anak. Aktivitas seperti menggambar garis, mencari objek tersembunyi, dan menebalkan huruf serta gambar, tidak hanya membuat anak lebih terlibat, tetapi juga melatih keterampilan motorik mereka.
Aktivitas ini juga membantu dalam mengintegrasikan kemampuan visual-motor, yang sangat penting untuk persiapan belajar, khususnya dalam menulis.
<h3>Berdiskusi Mengenai Isi Buku&nbsp;</h3>
Selama maupun setelah selesai membaca cerita, ajaklah anak untuk berdiskusi tentang cerita yang dibaca. Tanyakan kepada mereka apa yang mereka sukai dari cerita itu, apa yang akan ia lakukan jika di situasi tersebut dan ajak ia untuk membayangkan kelanjutan cerita berdasarkan yang sudah dibaca.
<h2>Penutup</h2>
Bercerita bukan hanya sebagai aktivitas menyenangkan, dengan membacakan cerita Aybun dapat merangsang perkembangan berbagai aspek kognitif anak, termasuk memahami narasi kompleks, mengenali karakter, menangkap tema cerita, dan memperluas kosakata mereka.&nbsp;
Dari bercerita, Anak juga jadi memiliki pemahaman emosi dan kemampuan menyelesaikan konflik yang lebih baik, serta meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan analitis mereka.
AyBun juga dapat menggunakan Buku Senandung Kejora dari Tentang Anak yang berisikan sejumlah aktivitas bermanfaat bagi si Kecil. Mulai dari mengikuti pola, menggambar bentuk, dst.
<img style="display: block; margin-left: auto; margin-right: auto;" src="https://d1yumyy1wq8q4y.cloudfront.net/images/article/6672bd51-138b1fd2-530f-4098-8a3a-5f6bb7aaf22c.jpg" alt="Buku Senandung Kejora - Tentang Anak" width="171" height="171" />
Penulis: Rizki Ayu W.P. Ilustrator: Ismedy Prasetya. Penyunting: Grace Sameve, Mesty Ariotedjo, dan Gianti Amanda
Sinopsis:
Hari ini, Swara, Aluna, Gema, dan Nada akan bertualang. Ada lebih dari 10 tantangan menanti, mulai dari mencari jalan ke desa, menggambar burung di hutan cemara, sampai menebalkan garis di langit berbintang. Yuk, ikuti perjalanan seru mereka bersama-sama!
Buku ini diterbitkan oleh Tentang Anak, sebuah ekosistem pendukung orang tua dalam mengasuh anak hingga tumbuh dan berkembang secara optimal. Dengan buku aktivitas ini, diharapkan si Kecil dapat bersenang-senang, sekaligus mendukung perkembangan kognitif, motor, dan emosi sosial.
Dapatkan di marketplace kesayangan AyBun atau langsung beli di <a href="https://tentanganak.onelink.me/Shof/qsdrqc6v">FITUR BELANJA</a> Aplikasi Tentang Anak!
&nbsp;

Liburan di rumah aja? Yuk, Asah Kecerdasan Anak dengan Bercerita

Anak yang pintar baik dari sisi akademik memiliki beberapa faktor, salah satunya genetik. Acapkali orang berpendapat bahwa kecerdasan anak menurun dari sang ibu, apakah benar? Untuk itu kupas selengkapnya di artikel ini
&nbsp;

Ketika membahas kecerdasan anak, seringkali muncul mitos atau keyakinan bahwa kecerdasan anak sepenuhnya ditentukan oleh keturunan dari ibu atau dari garis keturunan tertentu.
Dalam artikel ini, akan dijelaskan faktor-faktor yang memengaruhi kecerdasan anak dan apakah benar-benar ada hubungan langsung antara kecerdasan anak dan keturunan dari ibu.
Pada 12 ribu anak ditemukan jika IQ Ibu merupakan penentu utama IQ anak. Kok bisa ya? Ternyata kecerdasan diturunkan melalui kromosom X dan Ibu memiliki 2 kromosom X maka memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap kecerdasan anak.
Berikut penjelasan lebih detailnya yaitu Anak laki-laki mendapatkan sebagian kecerdasan dari Ibu sedangkan Anak perempuan mendapatkan kecerdasan dari Ayah dan Ibu, dan ternyata faktor genetik ternyata berperan 20-40% pada IQ anak.
Namun, tidak mutlak dari keturunan ada faktor lain seperti ras, pendidikan, status sosio-ekonomi, lingkungan, dan kedekatan emosional Ayah &amp; Ibu.
<h2>Lalu, apa ya yang diturunkan dari Ibu?</h2>
<img src="https://d1yumyy1wq8q4y.cloudfront.net/images/article/64e37555-97e327f2-7222-41f8-a158-fe0c171b393b.jpg" />
<h3>1. Pola tidur</h3>
Sebagian pola tidur anak diturunkan dari ibu Contohnya: Anak dari ibu dengan insomnia cenderung juga menularkan kebiasaan Ibunya.
<h3>2. Pertumbuhan Berat Badan si Kecil</h3>
Hal ini terjadi karena adanya kemungkinan Anak diwarisi metabolisme Ibu. Walaupun begitu, gaya hidup dan lingkungan&nbsp; tetap berperan lebih besar.
<h3>3. Suasana Hati / Mood&nbsp;</h3>
Sistem kortikal limbik yang mengatur emosi dan berperan dalam gangguan mood juga dapat diturunkan dari ibu ke anak.
<h3>4. Kesehatan mental</h3>
Gen yang mengatur produksi serotonin di otak juga dapat diturunkan dari ibu ke anak.
&nbsp;
<h2>Pentingnya Peran Ibu dalam Perkembangan Anak</h2>
Peran ibu dalam perkembangan anak adalah sangat penting. Ibu seringkali adalah orang yang pertama kali berinteraksi dengan bayi dan anak-anak mereka. 
Interaksi ini tidak hanya memengaruhi perkembangan emosional anak, tetapi juga perkembangan kognitif mereka. 
Berikut adalah beberapa aspek peran ibu yang mungkin berperan dalam penurunan kecerdasan anak:
<h2>Cara Mendorong Kecerdasan Anak</h2>
<ol>
<li>
Stimulasi Kognitif: Memberikan anak kesempatan untuk terlibat dalam kegiatan kognitif yang merangsang otak mereka, seperti membaca, menyelesaikan puzzle, atau bermain permainan edukatif.
</li>
<li>
Pertumbuhan Emosional: Penting untuk memberikan dukungan emosional yang stabil dan positif bagi anak. Kesejahteraan emosional dapat memainkan peran kunci dalam perkembangan kecerdasan sosial dan emosional mereka.
</li>
<li>
Nutrisi yang Seimbang: Pastikan anak mendapatkan gizi yang cukup melalui makanan seimbang. Asupan nutrisi yang memadai mendukung perkembangan otak yang optimal.
</li>
<li>
Pendidikan yang Baik: Memastikan anak memiliki akses ke pendidikan yang baik dan stimulasi pendidikan awal yang dapat merangsang perkembangan kognitif mereka.
</li>
<li>
Fleksibilitas dan Dukungan: Memberikan anak kesempatan untuk mengeksplorasi minat mereka sendiri dan memberikan dukungan ketika mereka menghadapi kesulitan.
</li>
<li>
Pengembangan Keterampilan Sosial: Mendorong anak untuk berinteraksi dengan orang lain, mengembangkan keterampilan sosial, dan memahami kerjasama adalah penting untuk perkembangan kognitif dan sosial mereka.
</li>
</ol>
Meskipun kecerdasan anak memiliki faktor genetik, memahaminya sebagai hasil dari keturunan dari ibu saja adalah pemikiran yang terlalu sederhana. Pengaruh genetik, lingkungan, dan pengalaman hidup saling terkait dalam membentuk kecerdasan anak. 
Oleh karena itu, pendekatan holistik yang memperhatikan berbagai aspek perkembangan anak adalah kunci untuk mendorong kecerdasan mereka secara optimal.
Lingkungan yang kurang stimulatif, sebaliknya, dapat menghambat perkembangan intelektual.
Kira-kira apa nih kesamaan Bunda dengan si Kecil? Komen di bawah ya!
 Foto: freepik
Sumber:
https://www.rd.com/article/inherit-intelligence-from-mom/ https://www.medicinenet.com/what_do_you_inherit_from_your_mother/article.htm&nbsp;

Kecerdasan Anak Diturunkan dari Ibu? Begini Faktanya


Tanda lahir beragam jenis dan bukan hanya muncul di kulit, ada jenis tanda lahir yang diwaspadi yuk kenali jenisnya di sini!

Penyakit Kulit & Kelamin

Pada bayi baru lahir sering ditemukan tanda lahir atau bercak yang dapat melekat di berbagai wilayah tubuh bayi. Rupanya sangat beragam, baik dari warna, bentuk dan ukurannya. Ada yang berwarna hitam, biru, coklat, kekuningan, merah atau merah muda. Bentuknya ada yang tampak menonjol maupun rata dengan kulit. Ukurannya pun berviariasi, ada yang kecil, besar atau terlihat menyebar di area kulit.&nbsp;
Terbentuknya tanda lahir pada bayi diduga disebabkan oleh faktor genetik yang diturunkan dari orang tua. Tanda lahir dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu tanda lahir berpigmen dan tanda lahir vaskular.&nbsp;
Tanda lahir berpigmen yaitu jenis tanda lahir ini disebabkan adanya lebih banyak pigmen di satu bagian kulit bayi. Tampaknya seperti bercak atau spot, ada yang hitam, kecokelatan, merah, berbulu, bersisik, atau di dalam kulit.
Biasanya tanda lahir muncul saat bayi baru lahir atau berkembang segera setelah bayi dilahirkan.&nbsp;
Sedangkan tanda lahir vaskular masuk ke pembuluh darah dan menggumpal di suatu daerah bisa meregang dari biasanya. Tanda ini awalnya seringkali dianggap sebagai trauma lahir bayi.
Walaupun tidak terlalu banyak kasus yang muncul akibat fatalnya tanda lahir, tetapi ada beberapa tanda lahir yang patut diwaspadai oleh Ayah Bunda. Yuk, simak 3 tanda lahir di bawah ini
<h2>Tanda Lahir Ini Patut Diwaspadai</h2>
<h3>1. Cafe Eau Late</h3>
Yaitu tanda lagir yang berupa bercak berbentuk oval dan berwarna kecokelatan perlu diwaspadai jika terdapat lebih dari 5 ukuran lebih dari 5mm, ini bisa salah satu tanda adanya neurofibromatosis atau tumor pada saraf.&nbsp;
<h3>2. Hemangioma Infantile</h3>
Bercak merah yang seperti buah stroberi yang biasanya dapat membsar dalam 1 tahun pertama dan mengecil hingga 7 tahun berikutnya, AyBun perlu waspadai dan konsultasikan jika ukuran di atas 5 cm atau jika ukuran di atas 2 cm pada bagian leher dan wajah
<h3>3. Bercak Port Wine Stain</h3>
Bercak pada kulit bewarna merah keunguan yang biasanya semakin membesar seiring bertambahnya usia. Bercak ini terutama berada pada lokasi dahi, mata, atau kepala membutuhkan evaluasi lebih lanjut untuk memastikan ada atau tidaknya keterlibatan saraf atau adanya gangguan penglihatan.
&nbsp;
Foto: Designed by freepik
Sumber: 
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/18236823/
https://www.healthychildren.org/English/ages-stages/baby/bathing-skin-care/Pages/Your-Newborns-Skin-Birthmarks-and-Rashes.aspx
https://www.idai.or.id/artikel/klinik/keluhan-anak/apa-tanda-lahir-bayi-anda-berbahaya

Kenali 3 Tanda Lahir yang Harus Diwaspadai

Hepatitis adalah salah satu penyakit hati yang sering diderita oleh masyarakat di seluruh dunia. Penyakit ini tidak hanya menyerang orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Lalu, sudah tahukah penyebab dan cara mengatasinya? Cek di artikel ini.

Kondisi Kronik

Juli 2023, Jumlah kasus hepatitis pada anak di Indonesia menurut Kementerian Kesehatan RI masih sangat memprihatinkan, terutama tipe B dan C. Mirisnya, Kemenkes RI mencatat bahwa hepatitis B dialami oleh kelompok bayi usia di bawah lima tahun.
Hepatitis adalah salah satu penyakit hati yang sering diderita oleh masyarakat di seluruh dunia. Penyakit ini tidak hanya menyerang orang dewasa, tetapi juga anak-anak.&nbsp;
Hepatitis pada anak dapat memiliki dampak yang serius pada kesehatan mereka jika tidak ditangani dengan tepat. Artikel ini akan membahas gejala hepatitis pada anak, penyebabnya, serta beberapa cara untuk mengatasi penyakit ini. Informasi dalam artikel ini didasarkan pada sumber IDAI untuk memberikan informasi yang akurat dan terkini.
<h2>Gejala Hepatitis pada Anak</h2>
<img src="https://d1yumyy1wq8q4y.cloudfront.net/images/article/64ce114b-3a4f47d3-c555-4a82-ad37-dee21e7ff80a.jpg" />
Gejala hepatitis pada anak mungkin tidak selalu jelas dan bisa mirip dengan gejala penyakit lainnya. Namun, beberapa gejala umum yang mungkin muncul pada anak yang menderita hepatitis antara lain:
<ul>
<li>Kelelahan yang berlebihan</li>
<li>Kehilangan nafsu makan</li>
<li>Mual dan muntah</li>
<li>Demam</li>
<li>Perut kembung atau nyeri perut</li>
<li>Warna kulit dan mata yang kuning (jaundice/ikterik)</li>
<li>Urin berwarna gelap</li>
<li>Tinja berwarna pucat</li>
</ul>
&nbsp;
<h2>Penyebab Hepatitis pada Anak</h2>
<img src="https://d1yumyy1wq8q4y.cloudfront.net/images/article/64ce1155-e33454d5-d797-4d99-bf6a-390299e47320.jpg" />
Hepatitis pada anak bisa disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk:
Virus Hepatitis: Virus hepatitis adalah penyebab utama hepatitis pada anak-anak. Terdapat beberapa jenis virus hepatitis, seperti hepatitis A, B, C, D, dan E. Setiap jenis virus ini memiliki cara penularan yang berbeda, dan dapat menyebabkan gejala yang serupa atau berbeda pada anak-anak.
&nbsp;
Infeksi Lainnya: Selain virus hepatitis, infeksi oleh virus lainnya seperti cytomegalovirus (CMV) atau Epstein-Barr virus (EBV) juga dapat menyebabkan hepatitis pada anak-anak.
Reaksi Autoimun: Sistem kekebalan tubuh anak-anak dapat menyebabkan reaksi autoimun yang salah sasaran, di mana tubuh mulai menyerang sel-sel hati sendiri dan menyebabkan peradangan pada hati.
Obat-obatan dan Racun: Beberapa obat-obatan, termasuk obat antiepilepsi dan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), serta paparan racun tertentu, dapat menyebabkan kerusakan hati pada anak-anak. Dosis yang diberikan kepada anak sangat perlu diperhatikan karena dosis yang berlebihan pada obat yang pada dasarnya aman dapat juga menyebabkan hepatitis.
<h2>Hepatitis B</h2>
Hepatitis B adalah peradangan pada hati yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B. Hepatitis B paling ditakutkan karena dapat menjadi kronik. Infeksi virus hepatitis B yang menetap paling sedikit selama 6 bulan.
Penderita Hepatitis B kronik merupakan sumber penularan utama. Risiko menjadi kronik sangat tinggi (90%) bila infeksi tersebut didapat saat bayi. Penularan pada bayi didapat dari ibu pembawa hepatitis B kronik, yang disebut sebagai transmisi vertikal. Transmisi vertikal dapat terjadi saat intrauterin, intrapartum atau setelah lahir, tetapi sebagian besar transmisi vertikal tersebut terjadi intrapartum.
&nbsp;
<h2>Cara Mengatasi Hepatitis pada Anak</h2>
Mengatasi hepatitis pada anak memerlukan perawatan yang tepat dan tepat waktu. Berikut adalah beberapa cara mengatasi hepatitis pada anak:
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Konsultasikan dengan Dokter: Jika anak Ayah Bunda menunjukkan gejala hepatitis, segera konsultasikan dengan dokter untuk mendapatkan diagnosis yang tepat dan rencana perawatan yang sesuai.</li>
</ul>
&nbsp;
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Istirahat yang Cukup: Anak yang menderita hepatitis membutuhkan istirahat yang cukup agar tubuhnya dapat memerangi infeksi dengan lebih efektif.</li>
</ul>
&nbsp;
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Nutrisi yang Seimbang: Pastikan anak Ayah Bunda mendapatkan nutrisi yang cukup dengan mengonsumsi makanan sehat dan seimbang. Hindari makanan yang dapat menyebabkan beban ekstra pada hati, seperti makanan berlemak dan berminyak.</li>
</ul>
&nbsp;
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Minum Banyak Air: Anak-anak dengan hepatitis perlu minum banyak air untuk mencegah dehidrasi, terutama jika mereka mengalami muntah atau diare.</li>
</ul>
&nbsp;
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Obat-obatan: Dalam beberapa kasus hepatitis, dokter mungkin meresepkan obat-obatan untuk mengatasi infeksi virus terkait, membantu mengatasi gejala dan mempercepat pemulihan.</li>
</ul>
&nbsp;
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Vaksinasi: Beberapa jenis hepatitis dapat dicegah dengan vaksinasi. Pastikan anak Ayah Bunda mendapatkan vaksin hepatitis sesuai jadwal yang ditentukan oleh dokter.</li>
</ul>
&nbsp;
Hepatitis pada anak merupakan kondisi serius yang memerlukan perhatian dan penanganan yang tepat. Gejala hepatitis pada anak mungkin tidak selalu mudah dikenali, namun dengan memperhatikan tanda yang muncul, Ayah Bunda dapat segera menghubungi dokter untuk mendapatkan bantuan medis. 
Selain itu, tindakan pencegahan seperti vaksinasi juga sangat penting untuk melindungi anak Ayah Bunda dari risiko hepatitis. Dengan dukungan dan perawatan yang tepat, anak Ayah Bunda dapat pulih sepenuhnya dari hepatitis dan kembali menikmati kehidupan dengan sehat. Semoga artikel ini memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai gejala hepatitis pada anak dan cara mengatasinya.
 Foto: Freepik
Sumber:&nbsp;
https://www.idai.or.id/artikel/klinik/pengasuhan-anak/informasi-kesehatan-anak-kenali-hepatitis-b
https://www.viva.co.id/gaya-hidup/kesehatan-intim/1621681-kemenkes-soroti-4-2-juta-balita-di-indonesia-idap-hepatitis-b

Gejala Hepatitis pada Anak: Kenali Penyebab dan Cara Mengatasinya

Apakah Boleh Membersihkan Telinga dengan Cotton Bud

Apakah boleh membersihkan telingan dengan cotton bud? Yuk, AyBun baca apa kata dokter di artikel ini!

Membersihkan telinga dengan cotton bud adalah kebiasaan yang sering dilakukan untuk menjaga kebersihan. Namun, apakah boleh membersihkan telinga dengan cotton bud? Berikut ulasannya.
<h2>Bahaya Membersihkan Telinga dengan Cotton Bud</h2>
<ol>
<li>
Kotoran Telinga Masuk Lebih Dalam Salah satu risiko utama membersihkan telinga dengan cotton bud adalah kotoran telinga (serumen) dapat terdorong lebih dalam ke liang telinga. Hal ini berpotensi menyebabkan sumbatan, gangguan pendengaran, dan rasa tidak nyaman.
</li>
<li>
Cedera pada Membran Gendang Telinga Menggunakan cotton bud terlalu dalam dapat merusak membran gendang telinga. Cedera ini bisa menimbulkan nyeri, infeksi, bahkan gangguan pendengaran permanen.
</li>
<li>
Ukuran Liang Telinga Anak Lebih Kecil Pada anak-anak, penggunaan cotton bud lebih berisiko karena ukuran liang telinga mereka lebih kecil. Hal ini meningkatkan kemungkinan luka atau sumbatan yang serius.
</li>
</ol>
Baca Juga: <a href="https://tentanganak.com/artikel/efek-suara-bising-bagi-anak/">Efek Suara Bising &amp; Batasan Aman Desibel Suara untuk Pendengaran Anak &amp; Bayi</a>
<h2>Apakah Kotoran Telinga Perlu Dibersihkan?</h2>
Sebenarnya, kotoran telinga memiliki fungsi penting bagi kesehatan. Kotoran ini bersifat antibakteri dan membantu melindungi telinga dari infeksi.
Selain itu, kotoran telinga juga berfungsi mempermudah keluarnya air yang masuk ke telinga. Maka, menghilangkan kotoran telinga secara berlebihan, terutama dengan cotton bud, justru bisa merugikan.
<h2>Cara Membersihkan Telinga yang Aman</h2>
Jika telinga terasa gatal atau tidak nyaman, hindari langsung mengambil cotton bud. Berikut adalah langkah-langkah membersihkan telinga yang dianjurkan:
<ol>
<li>
Biarkan Mekanisme Alami Telinga Liang telinga sebenarnya dapat membersihkan dirinya sendiri. Pergerakan rahang, seperti saat mengunyah, membantu kotoran telinga keluar secara alami.
</li>
<li>
Bersihkan Bagian Luar Telinga Gunakan kain lembut atau kapas yang dibasahi air hangat untuk membersihkan bagian luar telinga. Hindari memasukkan alat apapun ke dalam liang telinga.
</li>
<li>
Konsultasi dengan Dokter THT Jika kotoran telinga sudah mengeras atau menyebabkan ketidaknyamanan, konsultasikan dengan dokter THT. Dokter dapat membersihkan telinga dengan metode yang aman setiap 4&ndash;6 bulan.
</li>
</ol>
<h2>Apa Kata Para Ahli?</h2>
Lembaga medis seperti American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS) dan PERHATI-KL (Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher) melarang penggunaan cotton bud untuk membersihkan telinga. Mereka merekomendasikan metode pembersihan yang lebih aman, sekaligus menegaskan pentingnya fungsi kotoran telinga bagi kesehatan.
Baca Juga: <a href="https://tentanganak.com/artikel/bayi-garuk-telinga/">Penyebab Bayi Garuk Telinga dan Cara Mengatasinya</a>
<h2>Kesimpulan</h2>
Jadi, apakah boleh membersihkan telinga dengan cotton bud? Jawabannya adalah tidak dianjurkan. Penggunaan cotton bud dapat menyebabkan berbagai masalah, mulai dari sumbatan kotoran hingga cedera pada telinga.
Sebagai gantinya, biarkan telinga membersihkan dirinya sendiri dan gunakan metode yang lebih aman untuk menjaga kebersihan bagian luar telinga.
Untuk menjaga kesehatan telinga secara optimal, lakukan pemeriksaan rutin ke dokter THT. Dengan begitu, telinga tetap bersih tanpa risiko cedera akibat cotton bud. 🌟

Apakah Boleh Membersihkan Telinga dengan Cotton Bud? Cek di Sini!

Bingung membedakan perkembangan normal, autisme, dan ADHD? Pelajari tanda awal untuk mengenali kondisi ini lebih dini agar si kecil mendapatkan perhatian yang tepat.

Mengenali <a href="tentanganak://article?type=article&amp;id=2019">perkembangan anak</a> adalah langkah penting dalam memberikan dukungan yang tepat untuk tumbuh kembangnya. Beberapa anak mungkin menunjukkan perbedaan dalam interaksi sosial, komunikasi, atau perilaku yang memicu kekhawatiran. Apakah ini masih normal, tanda autisme (ASD), atau gejala ADHD?
Nah, memahami perbedaan ini sejak dini dapat membantu AyBun mengambil langkah yang tepat.
<h2>Tanda Dini Autisme (ASD)</h2>
<img src="https://d1yumyy1wq8q4y.cloudfront.net/images/article/67483c38-013ab1c1-d96c-4155-8d78-03be4d5db1a1.png" />
Autisme adalah gangguan perkembangan yang memengaruhi kemampuan komunikasi dan interaksi sosial. Berikut adalah beberapa tanda awal yang penting diperhatikan:
<ol>
<li>Kesulitan merespons nama: Anak usia 12 bulan yang tidak menoleh saat dipanggil beberapa kali bisa menjadi indikasi awal ASD.</li>
<li>Kurangnya kontak mata: Anak dengan ASD sering menghindari kontak mata bahkan dengan orang terdekat.</li>
<li>Keterbatasan komunikasi nonverbal: Anak jarang menunjuk, memberi isyarat, atau berekspresi saat berinteraksi.</li>
<li>Repetisi perilaku atau ucapan: Anak suka mengulang tindakan atau kata-kata tertentu, misalnya mengucapkan frasa tanpa konteks (echolalia).</li>
</ol>
Menurut American Academy of Pediatrics (AAP), skrining autisme direkomendasikan pada usia 18 dan 24 bulan untuk memastikan tanda-tanda tersebut.
<h2>Tanda Dini ADHD</h2>
<img src="https://d1yumyy1wq8q4y.cloudfront.net/images/article/67483c47-c28a5e02-79f2-4695-bbe7-26f37ca4b8e0.png" />
ADHD (Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder) adalah gangguan neurodevelopmental yang memengaruhi kemampuan fokus dan pengendalian impuls. Beberapa tanda awal ADHD meliputi:
<ol>
<li>Perhatian mudah teralihkan: Anak sulit fokus pada aktivitas tertentu dalam waktu lama, misalnya bermain atau belajar.</li>
<li>Hiperaktivitas berlebih: Selalu aktif, sulit duduk diam, dan sering terlihat melompat-lompat tanpa henti.</li>
<li>Tantrum ekstrem: Anak dengan ADHD sering menunjukkan emosi yang meledak-ledak hingga tantrum yang parah, seperti diungkapkan oleh ADDitude Magazine.</li>
<li>Sulit menyelesaikan tugas: Anak sering tidak menyelesaikan aktivitas atau tugas hingga selesai, meskipun menarik minat mereka.</li>
<li>Suka memotong pembicaraan: Anak sulit menunggu giliran saat berbicara, sering kali menyela dengan impulsif.</li>
</ol>
Penelitian terbaru dari Frontiers in Psychiatry menunjukkan bahwa gejala ADHD biasanya lebih jelas terlihat pada usia pra-sekolah atau sekolah.
Baca Juga: <a href="tentanganak://article?type=article&amp;id=2058">Mengetahui Lebih Jauh Alasan Istilah 'Asperger' yang Dihapus Dalam Diskursus Autisme</a>
<h2>Autisme atau ADHD?</h2>
<img src="https://d1yumyy1wq8q4y.cloudfront.net/images/article/67483c56-01bbc584-c344-4aca-855a-a798ef3980f2.png" />
Meskipun beberapa gejala ASD dan ADHD tampak mirip, keduanya memiliki perbedaan mendasar:
<table>
<thead>
<tr>
<th>Autisme (ASD)</th>
<th>ADHD</th>
</tr>
</thead>
<tbody>
<tr>
<td>Gejala muncul sebelum usia 2 tahun</td>
<td>Gejala muncul di usia pra-sekolah/sekolah</td>
</tr>
<tr>
<td>Fokus pada detail tertentu atau rutinitas yang kaku</td>
<td>Sulit fokus pada satu tugas, mudah teralihkan</td>
</tr>
<tr>
<td>Kesulitan komunikasi dan kontak mata terbatas</td>
<td>Banyak bicara, impulsif, sering memotong pembicaraan</td>
</tr>
<tr>
<td>Perilaku repetitif</td>
<td>Perilaku tidak terorganisir atau ceroboh</td>
</tr>
</tbody>
</table>
Jadi, ADHD lebih banyak berhubungan dengan impulsivitas, sedangkan autisme lebih terfokus pada tantangan dalam komunikasi dan interaksi sosial.
<h2>Kesimpulan</h2>
Memahami perbedaan antara perkembangan normal, autisme, dan ADHD adalah langkah penting untuk memberikan perhatian yang sesuai bagi si kecil. Jika AyBun menemukan tanda-tanda yang mencurigakan, jangan ragu untuk bertindak lebih dini.
Yuk, cek perkembangan anak lewat fitur <a href="tentanganak://screening?type=screening">Skrining Autisme</a> di aplikasi Tentang Anak! Temukan panduan lengkap untuk memastikan tumbuh kembang si kecil berjalan optimal.

Bagaimana Ciri Anak Autisme dan ADHD? Kenali Tanda Awalnya!

Benarkah mie instan bisa sebabkan leukemia pada anak? Simak fakta medis dan tips aman konsumsi mie instan untuk keluarga.&nbsp;

Kabar tentang seorang anak penderita leukemia yang dikaitkan dengan konsumsi mie instan sempat viral dan mengundang kekhawatiran para orang tua. Banyak yang bertanya-tanya, apakah benar mie instan bisa menyebabkan kanker seperti leukemia pada anak? Apa kandungan mie instan yang perlu diwaspadai?
Artikel ini membahas fakta ilmiah seputar leukemia, kandungan dalam mie instan, dan bagaimana menyikapinya dengan bijak sebagai orang tua.
<h2 class="" data-start="805" data-end="862">Apakah Mie Instan Bisa Menyebabkan Leukemia pada Anak?</h2>
Leukemia adalah salah satu jenis kanker darah yang paling sering terjadi pada anak. Namun, penyebab utama leukemia pada anak adalah mutasi genetik, bukan makanan.
Faktor makanan dan lingkungan hanya berperan kecil, dan belum ada bukti ilmiah kuat bahwa mie instan secara langsung menyebabkan leukemia pada anak.
Memang, beberapa produk mie instan tertentu sempat ditemukan mengandung etilen oksida, zat yang dalam kadar tinggi berpotensi karsinogenik. Namun, kasus ini lebih banyak ditemukan pada populasi dewasa dan tidak cukup bukti untuk menyimpulkan hubungan langsung dengan kanker anak.
<h2 class="" data-start="1559" data-end="1615">Bahaya Lain di Balik Mie Instan yang Perlu Diwaspadai</h2>
Meski tidak secara langsung menyebabkan kanker, konsumsi mie instan secara berlebihan tetap tidak disarankan untuk anak-anak karena risiko lain yang mengintai:
<h3 class="" data-start="1782" data-end="1817">1. Risiko Sindrom Metabolik</h3>
Studi dari Harvard menunjukkan bahwa konsumsi mie instan lebih dari dua kali seminggu dapat meningkatkan risiko sindrom metabolik, terutama pada perempuan. Sindrom ini mencakup tekanan darah tinggi, kadar gula darah tinggi, dan peningkatan risiko penyakit jantung.
<h3 class="" data-start="2088" data-end="2134">2. Tingginya Kandungan Garam dan Lemak</h3>
Mie instan mengandung sodium dan lemak jenuh dalam jumlah tinggi, yang dapat membebani tubuh anak dan meningkatkan risiko gangguan ginjal serta obesitas.
<h3 class="" data-start="2290" data-end="2321">3. Minim Kandungan Gizi</h3>
Sebagian besar mie instan tidak mengandung cukup serat, protein, vitamin, dan mineral, sehingga tidak cocok menjadi makanan utama.
<h2 class="" data-start="2459" data-end="2502">Tips Aman Konsumsi Mie Instan untuk Anak</h2>
Bukan berarti mie instan harus dihindari sepenuhnya. Aybun bisa tetap memberikan sesekali, asalkan memperhatikan beberapa hal berikut:
<ul>
<li data-start="2642" data-end="2696">Batasi konsumsi hingga maksimal 1&ndash;2 kali per bulan</li>
<li data-start="2642" data-end="2696">Pilih produk dengan kandungan garam yang rendah</li>
<li data-start="2642" data-end="2696">Tambahkan sayuran dan protein seperti telur atau ayam</li>
<li data-start="2642" data-end="2696">Jangan jadikan mie instan sebagai makanan pokok harian</li>
</ul>
<h2 class="" data-start="2874" data-end="2887">Kesimpulan</h2>
Konsumsi mie instan tidak terbukti menjadi penyebab langsung leukemia pada anak, karena faktor utama leukemia adalah mutasi genetik. Namun, mie instan tetap perlu dibatasi karena risiko lain seperti sindrom metabolik, kelebihan garam, dan kurangnya gizi.
Sebagai orang tua, tugas kita adalah menjaga pola makan sehat untuk anak dan mengedukasi mereka sejak dini. Pilih makanan bergizi seimbang dan jadikan mie instan hanya sebagai sesekali alternatif&mdash;bukan andalan.