Ingin cegah anak pakai behel? AyBun bisa melakukan beberapa tips dari dokter, di sini!

Kesehatan Anak

Kesehatan gigi anak adalah salah satu aspek penting dalam tumbuh kembangnya. Salah satu masalah umum yang sering dihadapi adalah maloklusi, yaitu kondisi gigi yang tidak rapi atau gigitan yang tidak ideal. Meski faktor genetik memiliki pengaruh besar, Aybun tetap bisa melakukan upaya pencegahan dari faktor lingkungan. Berikut adalah lima cara untuk membantu mencegah anak perlu memakai behel di masa depan.
<h2>Beberapa Cara Cegah Anak Pakai Behel</h2>
<h3>1. Pastikan Anak Bernapas Lewat Hidung</h3>
Bernapas lewat mulut dapat memengaruhi bentuk rahang, membuatnya menjadi sempit dan berbentuk &ldquo;V&rdquo;. Akibatnya, ruang untuk gigi menjadi kurang, yang dapat menyebabkan maloklusi seperti gigitan terbuka atau wajah panjang.
Tanda-tanda anak bernapas lewat mulut:
<ul>
<li>Ngorok saat tidur</li>
<li>Mulut kering atau ngeces saat tidur</li>
<li>Mudah lelah di siang hari</li>
</ul>
Periksakan ke dokter jika AyBun mencurigai adanya masalah pernapasan pada si Kecil.
<h3>2. Berikan Makanan dengan Tekstur Sesuai Usia</h3>
Makanan keras, seperti finger food, penting untuk menstimulasi otot pengunyahan dan mendukung perkembangan rahang yang baik. Hindari memberikan makanan yang terlalu lunak terus-menerus setelah anak berusia satu tahun.
<h3>3. Hentikan Pemakaian Dot Sebelum Anak Berusia 18 Bulan</h3>
Penggunaan dot atau empeng yang berkepanjangan dapat menyebabkan gigi maju dan gigitan terbuka. Pastikan si Kecil berhenti menggunakan dot maksimal saat usianya mencapai 18 bulan.
<h3>4. Cegah Gigi Berlubang</h3>
Gigi susu sama pentingnya dengan gigi tetap, karena berfungsi untuk mengunyah, bicara, estetika, dan sebagai panduan tumbuhnya gigi tetap.
<ul>
<li>Lakukan perawatan rutin ke dokter gigi anak.</li>
<li>Jika ada gigi berlubang, segera tambal meskipun itu gigi susu.</li>
</ul>
<h3>5. Ajarkan Anak untuk Berhenti Mengisap Jempol</h3>
Mengisap jempol dapat menyebabkan gigi maju atau gigitan terbuka. Latih anak untuk menghentikan kebiasaan ini sebelum mereka berusia tiga tahun.
<h2>Kesimpulan</h2>
Faktor genetik memang memiliki pengaruh besar terhadap kondisi gigi dan rahang anak. Namun, dengan menerapkan langkah-langkah pencegahan di atas, Aybun dapat meminimalkan risiko maloklusi akibat faktor lingkungan.
Jika gigi anak sudah terlanjur berantakan, segera konsultasikan dengan dokter gigi spesialis untuk mengetahui opsi perawatan terbaik.
Masih bingung soal kesehatan gigi anak? Coba fitur&nbsp;<a href="tentanganak://consult_list?type=consult_list"> Tanya Ahli </a>untuk bertanya lebih lanjut secara GRATIS!

Cara Cegah Anak Pakai Behel, Ini yang Perlu AyBun Perhatikan!

Kenali lebih jauh tentang hepatitis B di sini

Kehamilan

Hepatitis B merupakan penyakit peradangan hati menahun akibat virus hepatitis B. Pada bayi baru lahir dengan Hepatitis B, 70-90% tertular dari ibu yang terinfeksi selama proses melahirkan baik persalinan normal maupun operasi sesar. Lalu, apa risikonya?
90% bayi baru lahir dengan Hepatitis B akan mengalami peradangan kronik hingga seumur hidup, di antaranya risiko gagal hati, sirosis hati, hingga kanker hati. Penularan ini tidak menyebar melalui kontak biasa atau makanan, tetapi menyebar melalui darah atau cairan tubuh dari penderita yang terinfeksi.
Seorang bayi yang dapat terinfeksi dari Ibunya selama proses kehamilan, selain itu juga dapat menyebar melalui aktivitas seksual, penggunaan jarum suntik berulang, dan transfusi darah dengan virus di dalamnya.
Organ hati ternyata memiliki daya tahan yang sangat kuat, meskipun dalam kerusakan ia tetap mampu bekerja dan beregenerasi atau memperbaiki diri selama tidak mengalami kerusakan yang parah.
Beberapa gejala hepatitis B yaitu:
<ul>
<li>Kehilangan nafsu makan</li>
<li>Mual dan muntah</li>
<li>Sakit kuning</li>
<li>Gejala seperti terkena flu misalnya lemas, lelah, nyeri, dan sakit kepala</li>
</ul>
Gejala hepatitis B di atas memang tidak langsung berdampak atau terasa bahkan ada yang tidak berasa sama skali karena itulah banyak orang yang tidak menyadari ia telah terinfeksi. Inkubasi adalah jarak dan waktu antara virus pertama masuk ke dalam tubuh hingga munculnya gejala pertama infeksi tersebut. Hepatitis B memiliki masa inkubasi sekitar 1 sampai 5 bulan sejak adanya pajanan pada virus.
Untuk mencegah risiko penularan Hepatitis B dari ibu yang terinfeksi pada anak, Menteri Kesehatan Indonesia mengeluarkan upaya tambahan yaitu penggunaan antivirus Tenofovir Disoproxil Fumarate untuk ibu hamil.
Percontohan pemberian dilakukan di awal tahun 2023. Imunisasi Hepatitis ke bayi masih menyisakan 1-5% transmisi vertikal virus hepatitis B dari ibu hamil ke bayinya. Dengan pemberian antiviral pada ibu hamil, maka kadar virus ini menjadi rendah dan tidak ditularkan ke bayi.
Pelaksanaan pemberian obat antivirus Tenofovir Disoproxil Fumarate (TDF) pada ibu hamil
<ol>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Seluruh ibu hamil melakukan tes HBsAg melalui pengambilan sampel darah&nbsp;</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Ibu hamil dengan HBsAg reaktif perlu menjalani pemeriksaan HBeAg atau DNA VHB, dan pemeriksaan lain sesuai indikasi</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Jika hasilnya reaktif, ibu hamil diberikan obat TDF selama trimester ketiga kehamilan sampai dengan 1 (satu) bulan setelah melahirkan</li>
</ol>
Daftar Fasyankes Penyelenggara Percontohan Pemberian Antivirus Pada Ibu Hamil Untuk Pencegahan Transmisi Virus Hepatitis B Dari Ibu Ke Anak
<table style="border-collapse: collapse; width: 100%; height: 604.757px;" border="1">
<tbody>
<tr style="height: 67.1953px;">
<td style="width: 8.19964%; height: 67.1953px;">No</td>
<td style="width: 29.2335%; height: 67.1953px;">Nama Fasilitas Pelayanan Kesehatan</td>
<td style="width: 32.7986%; height: 67.1953px;">Provinsi</td>
<td style="width: 29.7683%; height: 67.1953px;">Kabupaten / Kota</td>
</tr>
<tr style="height: 22.3984px;">
<td style="width: 8.19964%; height: 22.3984px;">1</td>
<td style="width: 29.2335%; height: 22.3984px;">RSUD Kota Bandung</td>
<td style="height: 67.1953px; width: 32.7986%;" rowspan="2">Jawa Barat</td>
<td style="height: 67.1953px; width: 29.7683%;" rowspan="2">Kota Bandung </td>
</tr>
<tr style="height: 44.7969px;">
<td style="width: 8.19964%; height: 44.7969px;">2</td>
<td style="width: 29.2335%; height: 44.7969px;">Puskesmas Arcamanik</td>
</tr>
<tr style="height: 44.7969px;">
<td style="width: 8.19964%; height: 44.7969px;">3</td>
<td style="width: 29.2335%; height: 44.7969px;">Puskesmas Cengkareng</td>
<td style="height: 44.7969px; width: 32.7986%;" rowspan="10">DKI Jakarta</td>
<td style="width: 29.7683%; height: 44.7969px;">Jakarta Barat</td>
</tr>
<tr style="height: 22.3984px;">
<td style="width: 8.19964%; height: 22.3984px;">4</td>
<td style="width: 29.2335%; height: 22.3984px;">RSUD Taman Sari</td>
<td style="width: 29.7683%; height: 22.3984px;">Jakarta Barat</td>
</tr>
<tr style="height: 22.3984px;">
<td style="width: 8.19964%; height: 22.3984px;">5</td>
<td style="width: 29.2335%; height: 22.3984px;">RSUD Kramat Jati</td>
<td style="width: 29.7683%; height: 22.3984px;">Jakarta Timur</td>
</tr>
<tr style="height: 22.3984px;">
<td style="width: 8.19964%; height: 22.3984px;">6</td>
<td style="width: 29.2335%; height: 22.3984px;">Puskesmas Tanah Abang</td>
<td style="width: 29.7683%; height: 22.3984px;">Jakarta Pusat</td>
</tr>
<tr style="height: 22.3984px;">
<td style="width: 8.19964%; height: 22.3984px;">7</td>
<td style="width: 29.2335%; height: 22.3984px;">RSUD Kemayoran</td>
<td style="width: 29.7683%; height: 22.3984px;">Jakarta Pusat</td>
</tr>
<tr style="height: 22.3984px;">
<td style="width: 8.19964%; height: 22.3984px;">8</td>
<td style="width: 29.2335%; height: 22.3984px;">RSUD Tebet</td>
<td style="width: 29.7683%; height: 22.3984px;">Jakarta Selatan</td>
</tr>
<tr style="height: 22.3984px;">
<td style="width: 8.19964%; height: 22.3984px;">9</td>
<td style="width: 29.2335%; height: 22.3984px;">Puskesmas Kebayoran Lama</td>
<td style="width: 29.7683%; height: 22.3984px;">Jakarta Selatan</td>
</tr>
<tr style="height: 22.3984px;">
<td style="width: 8.19964%; height: 22.3984px;">10</td>
<td style="width: 29.2335%; height: 22.3984px;">Puskesmas Cakung</td>
<td style="width: 29.7683%; height: 22.3984px;">Jakarta Timur</td>
</tr>
<tr style="height: 22.3984px;">
<td style="width: 8.19964%; height: 22.3984px;">11</td>
<td style="width: 29.2335%; height: 22.3984px;">Puskesmas Tanjung Priok</td>
<td style="width: 29.7683%; height: 22.3984px;">Jakarta Utara</td>
</tr>
<tr style="height: 22.3984px;">
<td style="width: 8.19964%; height: 22.3984px;">12</td>
<td style="width: 29.2335%; height: 22.3984px;">RSUD Koja</td>
<td style="width: 29.7683%; height: 22.3984px;">Jakarta Utara</td>
</tr>
<tr style="height: 22.3984px;">
<td style="width: 8.19964%; height: 22.3984px;">13</td>
<td style="width: 29.2335%; height: 22.3984px;">Puskesmas Sudiang Raya</td>
<td style="width: 32.7986%; height: 22.3984px;">&nbsp;</td>
<td style="width: 29.7683%; height: 22.3984px;">Kota Makassar</td>
</tr>
<tr style="height: 22.3984px;">
<td style="width: 8.19964%; height: 22.3984px;">14</td>
<td style="width: 29.2335%; height: 22.3984px;">RSUD Labuang Baji</td>
<td style="width: 32.7986%; height: 22.3984px;">&nbsp;</td>
<td style="width: 29.7683%; height: 22.3984px;">Kota Makassar</td>
</tr>
<tr style="height: 22.3984px;">
<td style="width: 8.19964%; height: 22.3984px;">15</td>
<td style="width: 29.2335%; height: 22.3984px;">Puskesmas Sememi</td>
<td style="height: 22.3984px; width: 32.7986%;" rowspan="4">Jawa Timur</td>
<td style="width: 29.7683%; height: 22.3984px;">Kota Surabaya</td>
</tr>
<tr style="height: 22.3984px;">
<td style="width: 8.19964%; height: 22.3984px;">16</td>
<td style="width: 29.2335%; height: 22.3984px;">Puskesmas Wonokusumo</td>
<td style="width: 29.7683%; height: 22.3984px;">Kota Surabaya</td>
</tr>
<tr style="height: 22.3984px;">
<td style="width: 8.19964%; height: 22.3984px;">17</td>
<td style="width: 29.2335%; height: 22.3984px;">RSUD dr. Mohamad Soewandhie</td>
<td style="width: 29.7683%; height: 22.3984px;">Kota Surabaya</td>
</tr>
<tr style="height: 22.3984px;">
<td style="width: 8.19964%; height: 22.3984px;">18</td>
<td style="width: 29.2335%; height: 22.3984px;">RSUD dr. Sutomo</td>
<td style="width: 29.7683%; height: 22.3984px;">Kota Surabaya</td>
</tr>
<tr style="height: 22.3984px;">
<td style="width: 8.19964%; height: 22.3984px;">19</td>
<td style="width: 29.2335%; height: 22.3984px;">RSUD Hj. Abdul Moeloek</td>
<td style="width: 32.7986%; height: 22.3984px;">Lampung</td>
<td style="width: 29.7683%; height: 22.3984px;">Kota Bandar Lampung</td>
</tr>
<tr style="height: 22.3984px;">
<td style="width: 8.19964%; height: 22.3984px;">20</td>
<td style="width: 29.2335%; height: 22.3984px;">Puskesmas Way Kandis</td>
<td style="width: 32.7986%; height: 22.3984px;">Lampung</td>
<td style="width: 29.7683%; height: 22.3984px;">Kota Bandar Lampung</td>
</tr>
<tr style="height: 22.3984px;">
<td style="width: 8.19964%; height: 22.3984px;">21</td>
<td style="width: 29.2335%; height: 22.3984px;">Puskesmas Gedong Air</td>
<td style="width: 32.7986%; height: 22.3984px;">Lampung</td>
<td style="width: 29.7683%; height: 22.3984px;">Kota Bandar Lampung</td>
</tr>
<tr style="height: 22.3984px;">
<td style="width: 8.19964%; height: 22.3984px;">22</td>
<td style="width: 29.2335%; height: 22.3984px;">Puskesmas Pekauman</td>
<td style="width: 32.7986%; height: 22.3984px;">Kalimantan Selatan</td>
<td style="width: 29.7683%; height: 22.3984px;">Kota Banjarmasin</td>
</tr>
</tbody>
</table>
Jangan lupa catat dan cek imunisasi hepatitis si Kecil pada menu Vaksin guna mencegah adanya virus hepatitis B dan gunakan aplikasi Tentang Anak untuk kebutuhan si Kecil dari belajar hingga belanja! Yuk, unduh aplikasinya!
Foto: medlineplus.gov
Sumber:
Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/15/2023 Tentang Percontohan Pemberian Antivirus Pada Ibu Hamil Untuk Pencegahan Transmisi Virus Hepatitis B Dari Ibu ke Anak
https://promkes.kemkes.go.id/?p=7381

Penularan Hepatitis B dari Ibu ke Anak Tinggi, Menkes: Cegah Sejak Hamil dengan Ini

Apakah ibu menyusui boleh berpuasa dan bagaimana agar ASI tetap banyak selama berpuasa. Temukan penjelasannya di artikel ini!

Nutrisi

Menjelang bulan Ramadhan, biasanya Bunda yang baru saja melahirkan atau sedang berada dalam masa menyusui akan bertanya-tanya tentang bagaimana jika Ibu menyusui puasa.
Ini karena biasanya Busui yang berpuasa khawatir jika ASI yang menjadi satu-satunya asupan bagi si Kecil akan menurun dari segi kuantitas dan kualitasnya.&nbsp;
Jadi, sebenarnya Ibu menyusui boleh puasa apa tidak?&nbsp;
Yuk, simak pembahasan lebih lanjut dalam artikel ini untuk mengetahui lebih jauh tentang puasa selama masa menyusui dan apa yang perlu diperhatikan!
<h2>Bolehkah Ibu Menyusui Berpuasa?</h2>
Secara umum, Ibu menyusui diperbolehkan untuk berpuasa, khususnya di bulan Ramadhan. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh Ibu menyusui ketika berpuasa.&nbsp;
Dalam hal ini, Bunda harus membatalkan puasa jika merasa kurang sehat atau jika anaknya mengalami masalah kesehatan. Kemudian, Bunda harus membayar fidyah atau qadha (menyempurnakan puasa yang tidak dilakukan di kemudian hari).&nbsp;
Namun, jika Bunda merasa sehat dan si Kecil tidak mengalami masalah kesehatan, maka Bunda diperbolehkan untuk berpuasa selama Ramadhan.
<h2>Kapan Ibu Menyusui Harus Berhenti Puasa?</h2>
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, jika Bunda merasa kurang sehat atau si Kecil mengalami masalah kesehatan, sebaiknya Bunda membatalkan puasa dan berbicara dengan dokter untuk memastikan kondisi kesehatan Bunda dan si Kecil aman.
Adapun beberapa tanda yang dapat menunjukkan bahwa seorang Ibu menyusui harus berhenti puasa adalah:
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Sakit: Jika Ibu menyusui merasa sakit, lelah, atau tidak sehat saat berpuasa, sebaiknya ia berhenti puasa dan berbicara dengan dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk memastikan kondisinya aman.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Produksi ASI yang menurun: Apabila produksi ASI Ibu menyusui menurun drastis atau berlangsung lama, itu dapat menjadi tanda bahwa Ibu harus berhenti puasa.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Kondisi si Kecil yang kurang baik: Jika si Kecil mengalami masalah kesehatan atau pertumbuhan yang tidak normal, Ibu harus berhenti puasa dan berbicara dengan dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk memastikan kondisi si Kecil aman.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Kebutuhan hidrasi yang tidak tercukupi: Apabila Busui merasa sangat haus atau keringat berlebihan selama berpuasa, itu dapat menunjukkan bahwa tubuh Ibu tidak menerima cukup cairan dan hidrasi, sehingga harus berhenti puasa.</li>
</ul>
Selain itu, tanda bahaya berpuasa pada Bunda dan si Kecil juga dapat dilihat setelah 2-3 hari berpuasa. Apabila Bunda dan si Kecil mengalami:
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">lemas</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Warna urin kuning pekat</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Sakit kepala</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Bayi rewel saat menyusu</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Berat badan (BB) bayi turun</li>
</ul>
Sebaiknya Bunda segera berhenti berpuasa dan berkonsultasi dengan dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk memastikan kondisi kesehatannya Bunda dan si Kecil aman.
<h2>Agar ASI Tetap Banyak saat Puasa</h2>
Sebenarnya tetap berpuasa atau tidak memang kembali pada Bunda, tetapi Bunda tetap bisa memenuhi nutrisi si Kecil dan sebelum Bunda ikut berpuasa, pastikan bayi dalam kondisi sehat ya. Jika bayi sakit atau ada masalah gizi maka sebaiknya ditunda puasa.
Lalu, apa yang harus dilakukan Bunda agar ASI tetap banyak saat puasa?&nbsp;
Berikut adalah beberapa tips yang dapat membantu ibu menyusui untuk menjaga produksi ASI tetap stabil saat berpuasa:
<h3>1. Pertimbangkan puasa saat anak mulai MPASI</h3>
Sebaiknya Bunda mempertimbangkan untuk berpuasa saat si Kecil sudah mulai makan pokok dan tidak lagi hanya tergantung pada ASI. Ini karena ASI masih menjadi sumber nutrisi utama bagi si Kecil yang masih belum memasuki masa MPASI.&nbsp;
Selain itu, produksi ASI juga akan terpengaruh apabila Bunda mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh dan ASI selama berpuasa.
<h3>2. Jangan melewati jam makan sahur dan minum cukup air&nbsp;</h3>
Bunda harus memastikan untuk tidak melewati jam makan sahur dan minum minimal 2 liter air dalam sehari untuk menjaga produksi ASI tetap stabil. Air sangat penting untuk membantu proses produksi ASI dan memelihara kesehatan tubuh secara umum.
<h3>3. Penuhi asupan dengan gizi seimbang dan lengkap</h3>
Tips berikutnya adalah Bunda harus memastikan bahwa makanan yang dikonsumsi bergizi seimbang dan lengkap selama berpuasa, termasuk protein yang cukup.&nbsp;
Protein merupakan nutrisi penting yang diperlukan oleh tubuh untuk produksi ASI dan memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh dan ASI yang dihasilkan.&nbsp;
Di sisi lain, protein juga membantu dalam perkembangan otak si Kecil. Oleh sebab itu, pastikan Bunda mengonsumsi 2-3 porsi protein dalam sehari ya!
<h3>4. Utamakan camilan sehat jika masih lapar</h3>
Jika masih lapar setelah berbuka, ada baiknya Bunda mengonsumsi camilan yang sehat seperti buah, kacang-kacangan, kurma, sayur rebus, yoghurt, jika masih merasa lapar setelah berbuka.&nbsp;
Ini akan membantu Bunda untuk menjaga produksi ASI tetap stabil dan memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh.&nbsp;
Usahakan untuk menghindari makanan yang tinggi kalori, lemak dan gula yang tidak dibutuhkan oleh tubuh, karena dapat membuat tubuh merasa lelah dan kurang sehat.
<h3>5. Berbicara dengan dokter atau tenaga kesehatan lainnya</h3>
Jika Bunda mengalami masalah dengan produksi ASI selama berpuasa, sebaiknya Bunda segera berkonsultasi dengan dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk memastikan kondisi kesehatan Bunda dan si Kecil tetap aman.
Itu dia pembahasan tentang apa boleh ibu menyusui puasa. Sebagai ibu menyusui, berpuasa selama Ramadan dapat menjadi pilihan yang menantang.&nbsp;
Namun, dengan memperhatikan beberapa hal penting seperti konsumsi cairan yang cukup dan asupan nutrisi yang bergizi selama berpuasa, serta berbicara dengan dokter untuk memastikan kondisi kesehatan Busui dan si Kecil aman, maka Bunda dapat berpuasa dengan aman.&nbsp;
Selain itu, Bunda juga perlu memantau kondisi kesehatan dan produksi ASI selama masa puasa. Jangan lupa untuk mengutamakan kesehatan Bunda dan si Kecil sebagai prioritas utama dalam memutuskan untuk berpuasa atau tidak.

Ibu Menyusui Ingin Puasa? Ini Caranya Agar ASI Tetap Banyak


Di usia 11 bulan, bayi menunjukkan perkembangan motorik dan bahasa yang pesat. Ini stimulasi yang dapat diberikan agar perkembangan semakin sempurna. &nbsp;

Perkembangan

Ulang tahun pertama bayi Ayah Bunda sudah dekat, dan melihat perkembangannya membuat perasaan Ayah Bunda bercampur gembira juga haru karena berusia 11 bulan telah menciptakan banyak perubahan yang membuat Ayah Bunda kagum.&nbsp;
Umumnya, bayi 11 bulan semakin aktif bergerak di sekitar rumah. Ia semakin mengenali lingkungan sekitarnya dan mulai mencoba untuk berdiri sebagai awalan latihan berjalan. Pada tahap ini, Ayah Bunda tentu harus ekstra hati-hati dalam memberikan pengawasan demi keselamatan si kecil. Nah, apa saja perkembangannya saat bayi berusia 11 bulan dan apa stimulus yang tepat seperti bisa diberikan? Simak artikel berikut ini sampai tuntas.&nbsp;
<h2>Milestone Bayi 11 Bulan&nbsp;</h2>
Bayi Ayah Bunda akan mengalami banyak perkembangan pada usia 11 bulan yang terlihat dari: fisik, motorik, bahasa, dan sosial. Masuk dalam tahapan latihan berjalan, bayi Ayah Bunda juga sudah memperlihatkan minatnya bergerak lebih aktif dengan berdiri tanpa bantuan.&nbsp;
Apa saja perkembangan lainnya? Berikut milestone bayi saat berusia 11 bulan yang Ayah Bunda perlu ketahui.&nbsp;
<h3>1. Pertumbuhan dan Perkembangan Fisik</h3>
Semakin besar! Itulah fisik yang terlihat pada bayi Ayah Bunda yang berusia 11 bulan. Umumnya berat badan bayi berusia 11 bulan berkisar antara antara 6,9 kg sampai 10 kg dan tinggi badannya mencapai 67 cm-79 cm.&nbsp;
Sejalan dengan pertumbuhan fisiknya, gerakannya juga semakin bermacam-macam. Bayi 11 bulan mungkin sudah bisa duduk tanpa bantuan, merangkak atau bahkan berdiri dengan bantuan. Beberapa bayi mungkin sudah mulai berjalan dan mampu memegang objek dengan lebih baik.
<h3>2. Perkembangan Motorik</h3>
Bayi Ayah Bunda mungkin sudah bisa memegang dan menggenggam benda dengan baik pada usia 11 bulan. Bahkan sudah bisa melempar benda dengan baik. Minatnya untuk mengambil benda kecil dengan jari-jari semakin besar, juga mulai memainkan barang tersebut.&nbsp;
<h3>3. Kemampuan Bahasa</h3>
Pada usia 11 bulan, bayi Ayah Bunda mungkin sudah bisa mengeluarkan suara-suaranya sendiri. Mereka mungkin sudah mulai mengucapkan beberapa kata pertama mereka seperti "mama" atau "papa" atau kata-kata sederhana lainnya. Bayi Ayah Bunda juga mungkin mulai memahami kata-kata yang Ayah Bunda ucapkan.
<h3>4. Sosialisasi</h3>
Bayi Ayah Bunda mungkin sudah mulai menunjukkan minat dalam interaksi sosial dan lebih memperhatikan orang lain. Mereka mungkin tertawa, senang bergaul, dan mencoba meniru apa yang dilakukan orang dewasa.
<h3>5. Kognitif</h3>
Bayi Ayah Bunda mungkin mulai dapat memahami hubungan sebab-akibat dan dapat memecahkan masalah sederhana. Mereka juga mungkin mulai memahami peran objek dan bagaimana objek berinteraksi satu sama lain.
<h2>Stimulasi yang Tepat untuk Bayi 11 Bulan&nbsp;</h2>
Stimulasi sangat penting untuk anak, melakukannya dengan rutin membantu anak belajar tentang dunia serta berkomunikasi dan membentuk keterikatan dengan orang lain. Pada usia 11 bulan, bayi Ayah Bunda akan memerlukan stimulus yang baik untuk membantu mereka mengembangkan kemampuan motorik, sosial, bahasa, dan kognitif mereka.&nbsp;
&nbsp;
Ayah Bunda bisa melakukannya saat sedang bermain, mengganti popok, sedang memandikannya atau ketika menggendongnya. Selain itu ada beberapa contoh stimulus yang bisa membantu perkembangan bayi 11 bulan.&nbsp;
<h3>1. Bermain Balok</h3>
Kegiatan ini membantu mengembangkan kemampuan motorik kasar dan halus bayi Ayah Bunda. Bayi akan belajar mengambil, memegang, melempar, dan menumpuk dengan bermain balok.
<h3>2. Membaca Buku</h3>
Membaca buku bersama bayi Ayah Bunda dapat membantu memperkuat hubungan sosial dan bahasa. Pilih buku yang memiliki gambar-gambar cerah dan menarik untuk membantu menarik perhatian bayi Ayah Bunda.
<h3>3. Bermain dengan Mainan</h3>
Bermain dengan mainan dapat membantu stimulasi kognitif dan motorik bayi Ayah Bunda. Pilih mainan yang aman dan sesuai usia bayi Ayah Bunda seperti bola, boneka, atau mainan yang berbunyi.
<h3>4. Bernyanyi dan Menari</h3>
Bernyanyi dan menari bersama bayi Ayah Bunda dapat membantu mengembangkan kemampuan motorik dan bahasa. Pilih lagu-lagu anak-anak yang menyenangkan dan mudah diingat untuk membantu memperkuat hubungan bahasa.
<h3>5. Bermain dengan Air</h3>
Bermain dengan air dapat membantu stimulasi motorik dan kognitif bayi Ayah Bunda. Cobalah memberikan mainan air seperti mangkuk atau botol plastik untuk memungkinkan bayi Ayah Bunda mengeksplorasi dengan tangannya dan merasakan sensasi air.
<h3>6. Menjelajahi Lingkungan</h3>
Mengizinkan bayi Ayah Bunda untuk menjelajahi lingkungan sekitar mereka dengan pengawasan yang ketat dapat membantu stimulasi motorik dan sosial mereka. Biarkan mereka memegang objek, mengeksplorasi permukaan yang berbeda, dan berinteraksi dengan orang dan hewan peliharaan di sekitar mereka.
<h2>Merawat Bayi Berusia 11 Bulan</h2>
Perkembangan yang pesat pada bayi berusia 11 bulan membuat Ayah Bunda harus ekstra hati-hati dalam merawat bayi dan memantau setiap pergerakannya. Berikut sejumlah petunjuk dalam merawat bayi berusia 11 bulan:&nbsp;
<h3>1. Berikan Makanan yang Sehat</h3>
Bayi berusia 11 bulan membutuhkan nutrisi yang lebih banyak karena perkembangannya yang pesat. Pastikan untuk memberikan makanan yang sehat dan bergizi seperti sayuran, buah-buahan, daging tanpa lemak, ikan, dan biji-bijian.
<h3>2. Jangan Memaksakan Bayi untuk Makan</h3>
Bayi Ayah Bunda mungkin mulai menunjukkan keinginan untuk memegang sendiri makanannya pada usia 11 bulan, jadi biarkan bayi Ayah Bunda mencoba makan sendiri. Namun jika anak menolak untuk makan, jangan memaksanya karena akan membuatnya makin rewel ganti dengan cara memberikan makanan yang terlalu banyak sekaligus.
<h3>3. Berikan Banyak Kesempatan untuk Bermain dan Eksplorasi</h3>
Bayi Ayah Bunda mungkin sudah mulai merangkak, berdiri atau bahkan berjalan pada usia 11 bulan, Ayah Bunda perlu memberikan kesempatan untuk bermain dan bereksplorasi di sekitar mereka, sambil mengawasinya pastikan kalau lingkungan sekitar mereka aman dan tidak terdapat benda tajam atau berbahaya.
<h3>4. Berbicara dengan Bayi Ayah Bunda</h3>
Sering mengajak bayi berbicara membantu memperkuat hubungan sosial dan bahasa. Ayah Bunda bisa memulainya dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh bayi Ayah Bunda dan berbicara dengan nada yang lembut dan menyenangkan.
<h3>5. Pastikan Bayi Ayah Bunda Tidur yang Cukup</h3>
Bayi Ayah Bunda membutuhkan waktu tidur yang cukup untuk mendukung perkembangan otak dan tubuh mereka. Jadi, pastikan bayi Ayah Bunda tidur yang cukup setiap hari dan buatlah rutinitas tidur yang konsisten.
<h3>6. Konsultasikan dengan Dokter Anak atau Ahli Perkembangan Anak</h3>
Jika Ayah Bunda memiliki kekhawatiran tentang perkembangan bayi Ayah Bunda atau membutuhkan saran tentang perawatan dan pengasuhan, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan dokter anak atau ahli perkembangan anak.
Setiap bayi berkembang dengan kecepatan yang berbeda-beda, Ayah Bunda tidak perlu khawatir jika bayi Ayah Bunda mengalami kemajuan yang berbeda dengan bayi lain seusianya. Ayah Bunda hanya perlu selalu memberikan dukungan dan kasih sayang terbaik kepada bayi Ayah Bunda dan nikmati setiap momen bersama mereka.
Foto: designed by freepik
Sumber:
https://www.webmd.com/parenting/baby/baby-development-11-month-old

Perkembangan Bayi 11 Bulan: Motorik, Kognitif & Pertumbuhan Fisiknya

Pelajari bagaimana pola asuh mempengaruhi risiko anak terlibat dalam bullying. Temukan jenis pola asuh yang dapat mengurangi risiko dan mendukung kesehatan emosional anak.

Balita

Parenting

Psikologi Anak

Tentang Ayah Bunda

Kasus perundungan, baik di dunia nyata maupun maya, masih sering terjadi di kalangan anak-anak.&nbsp;
Anak-anak yang menjadi korban bullying berisiko tinggi mengalami kecemasan, depresi, kesulitan tidur, bahkan pemikiran untuk menyakiti diri sendiri.&nbsp;
Oleh karena itu, sangat penting bagi orang tua untuk mempersiapkan anak dalam menghadapi lingkungan sosial dengan tepat.
Salah satu faktor kunci yang mempengaruhi risiko anak menjadi korban bullying adalah pola asuh.
Penelitian menunjukkan bahwa pola asuh yang negatif dapat membuat anak merasa takut, cemas, ditolak, atau tidak nyaman.
Akibatnya, risiko anak menjadi korban bullying meningkat, serta mengalami masalah emosional seperti depresi, keluhan fisik, dan menarik diri dari lingkungan sosial.
<h2>Jenis-jenis Pola Asuh</h2>
Setiap orang tua memiliki gaya pola asuh yang berbeda-beda. Berikut adalah beberapa jenis pola asuh dan dampaknya terhadapt risiko bullying:
<h3>1. Pola Asuh Otoriter</h3>
Orang tua dengan gaya ini menerapkan aturan yang ketat tanpa banyak ruang untuk negosiasi.&nbsp;
Mereka biasanya tidak menjelaskan alasan di balik aturan dan lebih sering menghukum kesalahan.
Dampak pada Anak:&nbsp;
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Tingkat Agresi: Anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh otoriter mungkin menunjukkan tingkat agresi yang lebih tinggi. Anak-anak dapat menyalurkan kemarahan dan frustrasi ke perilaku bullying terhadap teman sebaya atau adik.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Kepatuhan Berlebihan: Anak-anak dari pola asuh ini seringkali patuh, tetapi mereka mungkin merasa tertekan atau tidak nyaman dalam situasi sosial. Anak bisa menjadi pemalu atau kesulitan dalam berinteraksi dengan teman sebaya, yang dapat membuat mereka lebih rentan menjadi korban bullying.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Masalah Emosional: Kurangnya penjelasan dan dukungan emosional dalam pola asuh otoriter dapat menyebabkan masalah emosional seperti kecemasan atau depresi, yang dapat meningkatkan kemungkinan anak terlibat dalam bullying, baik sebagai pelaku maupun korban.</li>
</ul>
<h3>2. Pola Asuh Otoritatif</h3>
Orang tua dengan gaya ini memiliki hubungan yang mendukung dan dekat dengan anak-anak mereka.&nbsp;
Baik Ayah &amp; Bunda dengan pola asuh otoratif selalu menjelaskan alasan di balik tindakan disiplin dan menggunakan disiplin sebagai bentuk dukungan, bukan hukuman.
Dampak pada Anak:
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Kemampuan Mengelola Emosi: Anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh otoritatif cenderung lebih mampu mengelola emosi negatif. Kemampuan ini membantu mengurangi kemungkinan terlibat dalam perilaku bullying.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Kepercayaan Diri dan Tanggung Jawab: Anak-anak dari pola asuh otoritatif biasanya lebih percaya diri dan bertanggung jawab. Anak dapat membangun hubungan sosial yang sehat dan menghindari perilaku bullying baik sebagai pelaku maupun korban.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Kesehatan Sosial dan Emosional: Gaya ini mendukung kesehatan emosional yang lebih baik, membantu anak-anak berinteraksi dengan lingkungan sosial secara positif dan mencegah keterlibatan dalam bullying.</li>
</ul>
<h3>3. Pola Asuh Permisif</h3>
Pola Asuh Permisif adalah gaya pola asuh di mana orang tua menunjukkan sikap hangat dan penuh perhatian terhadap anak, tetapi memiliki sedikit atau tidak ada ekspektasi dan aturan.&nbsp;
Orang tua dengan pola asuh ini cenderung membiarkan anak membuat keputusan sendiri tanpa banyak bimbingan atau batasan.
Dampak pada Anak:
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Kebiasaan Buruk: Anak-anak yang tidak mendapatkan batasan atau disiplin sehingga bebas berekspresi semaunya tanpa tahu yang benar dan yang salah memungkin mengembangkan perilaku buruk atau tidak sehat. Ini bisa membuat anak lebih rentan menjadi pelaku bullying.&nbsp;</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Kurangnya Mengatur Diri: Anak yang tidak diajarkan cara mengatur diri sendiri mungkin kesulitan mengelola frustrasi dan emosi, serta tidak terbiasa dengan aturan dapat meningkatkan kemungkinan mereka terlibat dalam perilaku agresif atau bullying.</li>
</ul>
<h3>4. Pola Asuh Kurang Terlibat</h3>
Pola Asuh Kurang Terlibat adalah gaya pola asuh dimana orang tua memenuhi kebutuhan dasar anak, seperti makanan dan tempat tinggal, tetapi tidak aktif terlibat dalam kehidupan sehari-hari anak.&nbsp;
Orang tua dengan pola asuh ini cenderung memiliki komunikasi yang terbatas dan menetapkan ekspektasi yang rendah terhadap anak.
Dampak pada Anak:
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Kesulitan Mengelola Emosi: Anak mungkin kesulitan mengatur emosi dan frustrasi, meningkatkan risiko terlibat dalam perilaku bullying.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Keterampilan Sosial yang Kurang: Anak tidak mengembangkan keterampilan sosial penting seperti empati dan komunikasi, yang membuat mereka lebih rentan terhadap bullying.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Perasaan Tidak Diperhatikan: Anak merasa kurang diperhatikan, yang dapat membuat mereka mencari perhatian dengan cara tidak sehat atau menjadi target bullying.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Kurangnya Dukungan dan Bimbingan: Tanpa bimbingan yang cukup, anak mungkin kesulitan menghadapi konflik sosial, meningkatkan kemungkinan mereka menjadi korban atau pelaku bullying.</li>
</ul>
Baca juga: <a href="tentanganak://article_detail?type=article_detail&amp;id=1976">Dari Mengamuk Tidak Jelas hingga Sering Memukul. Cara Memperbaiki Perilaku Anak dengan Kenalkan Sikap Baik</a>
<h2>Apa yang Harus Dilakukan oleh Orang Tua Mengurangi Risiko Bullying?</h2>
<ol>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">
<h3>Adakan Quality Time dengan Anak Secara Rutin ✅ Tunjukkan Antusiasme:</h3>
</li>
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="2">Hadir secara penuh</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="2">Singkirkan distraksi</li>
</ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">
<h3>❌ Hindari:</h3>
</li>
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="2">Sibuk dengan aktivitas lain</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="2">Tidak menunjukkan antusiasme saat berinteraksi</li>
</ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">
<h3>Berikan Kesempatan Anak Eksplorasi ✅ Beri Anak Kesempatan:</h3>
</li>
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="2">Coba dan eksplorasi dengan pendampingan</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="2">Berikan bantuan hanya jika diperlukan</li>
</ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">
<h3>❌ Hindari:</h3>
</li>
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="2">Melakukan semua hal untuk anak</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="2">Memberi terlalu banyak larangan dan batasan</li>
</ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">
<h3>Pertimbangkan Sudut Pandang Anak ✅ Hargai dan Bantu Anak:</h3>
</li>
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="2">Validasi pengalaman mereka</li>
</ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">
<h3>❌ Hindari:</h3>
</li>
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="2">Merendahkan pengalaman anak</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="2">Menggunakan kekerasan verbal atau non-verbal dalam interaksi</li>
</ul>
</ol>
<h2>Penutup</h2>
Dengan menerapkan pola asuh yang positif dan mendukung, AyBun dapat membantu anak merasa lebih percaya diri dan aman dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.&nbsp;
Hal ini juga dapat mengurangi risiko mereka menjadi korban atau pelaku bullying. Semoga artikel ini bermanfaat!

Pola Asuh Turut Menentukan Tingkat Risiko Bullying, Ini yang Harus Dilakukan

Pelajari langkah praktis mendeteksi skoliosis sejak dini untuk melindungi kesehatan tulang anak AyBun!

Skoliosis memang tidak bisa dicegah, namun deteksi dini bisa membuat perbedaan besar! Kondisi ini sering tersembunyi di balik pertumbuhan normal anak, terutama saat growth spurt atau percepatan tumbuh di usia 10&ndash;15 tahun. Sayangnya, jika tidak terdeteksi sejak awal, skoliosis bisa memburuk dan meningkatkan risiko tindakan medis seperti penggunaan brace atau bahkan operasi.
Untungnya, orang tua bisa membantu dengan skrining sederhana di rumah. Yuk, kenali 6 langkah deteksi skoliosis anak berikut ini!
<h2 class="" data-start="2781" data-end="2806">Apa Itu Skoliosis?</h2>
Skoliosis adalah kelainan bentuk tulang belakang di mana tulang belakang melengkung menyamping menyerupai huruf "S" atau "C".
Sebagian besar kasus skoliosis pada anak tergolong idiopatik, artinya penyebab pastinya tidak diketahui. Faktor genetik hingga pertumbuhan tulang yang tidak seimbang bisa menjadi pemicu.
Tanpa deteksi dini, skoliosis bisa memperburuk postur, menyebabkan nyeri, masalah pernapasan, dan berdampak pada kepercayaan diri anak.
<h2 class="" data-start="3386" data-end="3434">Langkah Deteksi Skoliosis Anak di Rumah</h2>
Mengutip dari Children&rsquo;s Healthcare of Atlanta, berikut adalah enam langkah sederhana deteksi skoliosis anak di rumah:
<h3 class="" data-start="3560" data-end="3614">1. Anak Berdiri dengan Kaki Rapat dan Seimbang</h3>
Minta anak berdiri tegak, kaki rapat, dan berat badan seimbang di kedua kaki. Pastikan pakai pakaian ketat agar bentuk tubuh terlihat jelas.
<h3 class="" data-start="3752" data-end="3807">2. Satukan Telapak Tangan dan Luruskan ke Depan</h3>
Anak merapatkan kedua telapak tangan di depan dada, lalu meluruskan tangan ke depan.
<h3 class="" data-start="3895" data-end="3954">3. Tundukkan Dagu dan Turunkan Tubuh ke Arah Lantai</h3>
Dengan posisi tangan lurus, anak perlahan membungkuk ke depan, seperti ingin menyentuh lantai. Ini disebut Adams Forward Bend Test.
<h3 class="" data-start="4093" data-end="4139">4. Amati dari Depan: Apakah Ada Punuk?</h3>
Perhatikan sisi kanan dan kiri punggung. Adakah satu sisi yang tampak lebih tinggi (seperti punuk kecil)? Ini bisa jadi tanda skoliosis.
<h3 class="" data-start="4279" data-end="4330">5. Lihat dari Belakang: Asimetri Tubuh Anak</h3>
Dari belakang, amati apakah bahu, pinggang, atau pinggul tampak tidak sejajar.
<h3 class="" data-start="4412" data-end="4477">6. Periksa dari Samping: Apakah Ada Lengkungan Huruf "C"?</h3>
Dari samping, lihat bentuk tulang belakang. Apakah ada kelengkungan berlebihan menyerupai huruf "C"?
⚠️ Catatan: Ini hanya skrining awal, bukan diagnosis resmi.
<h2 class="" data-start="4655" data-end="4705">Apa yang Dilakukan Jika Ada Tanda Abnormal?</h2>
Jika ada kecurigaan skoliosis, segera konsultasikan ke dokter ortopedi anak. Hanya pemeriksaan klinis dan radiologis (rontgen) yang bisa memastikan diagnosis skoliosis.
Dokter akan melakukan pengukuran sudut lengkungan tulang belakang lewat foto rontgen untuk menentukan derajat skoliosis.
<h2 class="" data-start="5123" data-end="5172">Kapan Anak Harus Diskrining untuk Skoliosis?</h2>
Menurut panduan, waktu terbaik melakukan skrining skoliosis adalah:
<ul>
<li data-start="5234" data-end="5301">Perempuan: usia 10 dan 12 tahun</li>
<li data-start="5234" data-end="5301">Laki-laki: usia 13 dan 14 tahun</li>
</ul>
Skrining rutin penting untuk mendeteksi skoliosis sebelum mencapai derajat parah.
<h2 class="" data-start="5482" data-end="5541">Kesimpulan</h2>
Meskipun skoliosis tidak bisa dicegah, deteksi dini sangat berperan dalam mencegah kondisi bertambah buruk. Dengan melakukan 6 langkah deteksi skoliosis anak di rumah, orang tua bisa segera mengenali tanda-tanda awal skoliosis.
Jika ada ketidakseimbangan atau lengkungan aneh pada tubuh anak, segera konsultasikan ke dokter untuk pemeriksaan lebih lanjut. Skrining rutin sangat penting, terutama selama masa pertumbuhan cepat.

Tidak Bisa Dicegah, Ini 6 Langkah Deteksi Skoliosis pada Anak

Strict parenting atau pola asuh ketat memiliki aturan tegas dan ekspektasi tinggi terhadap anak. Apakah metode ini efektif atau justru berdampak negatif? Temukan manfaat dan risikonya di sini!

Dalam setiap keluarga, orang tua memiliki gaya pengasuhan yang berbeda-beda. Salah satu gaya yang sering ditemui adalah strict parenting atau pola asuh ketat, mirip dengan authoritarian parenting. 
Orang tua yang menerapkan gaya ini cenderung memiliki aturan yang ketat, ekspektasi tinggi, serta memberikan disiplin yang tegas kepada anak-anak mereka. Tujuannya biasanya untuk membentuk anak yang disiplin, bertanggung jawab, dan sukses di masa depan.
Namun, apakah pola asuh yang terlalu ketat benar-benar efektif? Apakah anak yang dibesarkan dengan strict parenting akan tumbuh menjadi individu yang sukses dan bahagia, atau justru mengalami tekanan emosional yang berpengaruh pada kehidupannya di masa depan?
Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang apa itu strict parents,serta manfaat dan dampaknya terhadap perkembangan psikologis dan sosial anak di masa depan.&nbsp;
<h2>Apa Itu Strict Parents?</h2>
Strict parents adalah orang tua yang menerapkan aturan tegas dan mengharapkan anak-anak mereka untuk mematuhinya.&nbsp;
Kata strict sendiri berarti bertindak sesuai dengan prinsip atau persyaratan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, strict parents memiliki batasan yang jelas dan percaya bahwa anak-anak mampu mematuhinya.
Strict parents umumnya menerapkan gaya parenting yang otoriter, di mana mereka memiliki kontrol yang tinggi terhadap anak-anak mereka.&nbsp;
Fokus utama mereka adalah kepatuhan terhadap aturan daripada membangun kemandirian atau memberikan kebebasan pada anak untuk mengambil keputusan sendiri.&nbsp;
<h2>Ciri-ciri Strict Parents</h2>
<h3>1. Banyak Menuntut, Tetapi Tidak Responsif</h3>
Strict parents memiliki banyak aturan dan sering kali mengontrol hampir semua aspek kehidupan anak, baik di rumah maupun di tempat umum.
Mereka juga memiliki aturan yang tidak tertulis, di mana anak diharapkan mengetahui dan mematuhinya tanpa perlu diberi tahu secara eksplisit.
<h3>2. Minim Kehangatan dan Kasih Sayang</h3>
Strict parents sering terlihat dingin, jauh, dan kaku dalam berinteraksi dengan anak. Mereka lebih cenderung memarahi atau mengkritik anak daripada memberikan dorongan dan pujian. Mereka lebih mementingkan disiplin dibandingkan kebahagiaan anak, dengan keyakinan bahwa anak sebaiknya "dilihat, bukan didengar."
<h3>3. Hukuman Tanpa Penjelasan yang Jelas</h3>
Orang tua dengan pola asuh ini sering kali menggunakan hukuman fisik, seperti memukul atau menghukum anak dengan cara yang keras.Mereka jarang memuji atau memberikan afirmasi positif ketika anak berperilaku baik.
Jika aturan dilanggar, mereka bereaksi cepat dengan hukuman yang tegas tanpa menjelaskan alasan di baliknya.
<h3>4. Tidak Memberikan Pilihan pada Anak</h3>
Strict parents tidak memberi anak kebebasan untuk membuat keputusan sendiri. Mereka menerapkan aturan dengan pendekatan "ikut aturan atau keluar dari rumah", tanpa ruang untuk kompromi atau diskusi.
<h3>5. Tidak Sabar terhadap Perilaku Buruk</h3>
Orang tua mengharapkan anak untuk tahu bagaimana harus berperilaku tanpa perlu diberitahu berulang kali. Orang tua strict parents juga cenderung kurang sabar dalam menjelaskan alasan mengapa tidak boleh melakukan sesuai. Mereka juga cenderung mengabaikan perasaan anak dan lebih fokus pada aturan.
<h3>6. Kurang Mempercayai Anak</h3>
Strict parents tidak pernah mempercayai anak untuk membuat keputusan sendiri. Mereka sering kali membatasi kebebasan anak secara berlebihan untuk memastikan anak tidak melakukan kesalahan.
Mereka lebih memilih mengawasi anak secara ketat daripada membiarkan mereka belajar dari kesalahan.
<h3>7. Tidak Mau Bernegosiasi</h3>
Mereka memandang segala sesuatu dalam hitam dan putih&mdash;aturan harus diikuti tanpa pengecualian. Tidak ada ruang untuk kompromi atau diskusi mengenai aturan dalam keluarga.
Anak tidak memiliki hak dalam membuat keputusan yang berhubungan dengan kehidupan mereka sendiri.
<h3>8. Menggunakan Rasa Malu sebagai Alat Disiplin</h3>
Strict parents sering kali menggunakan kritik dan rasa malu untuk membuat anak mereka patuh. Misalnya, seperti:
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">&ldquo;Kenapa kamu selalu seperti ini?&rdquo;</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">&ldquo;Berapa kali harus Ayah/Bunda katakan? Tidak boleh!&rdquo;</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">&ldquo;Kenapa kamu tidak bisa melakukan sesuatu dengan benar?&rdquo;</li>
</ul>
Alih-alih membangun kepercayaan diri anak, mereka percaya bahwa mempermalukan anak akan membuat mereka berperilaku lebih baik.
<h2>Pengaruh Strict Parenting terhadap Anak</h2>
Strict parenting sering dikaitkan dengan aturan yang ketat dan ekspektasi tinggi. Meskipun terkesan kaku, pola asuh ini dapat membentuk anak-anak dengan kedisiplinan tinggi, rasa tanggung jawab, dan tujuan yang jelas dalam hidup.
<h3>1. Anak Terbiasa Mengikuti Aturan</h3>
Anak-anak yang dibesarkan dengan aturan tegas cenderung lebih memahami batasan dan konsekuensi dari tindakan mereka. Hal ini terjadi karena:
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Orang tua menetapkan ekspektasi yang jelas terkait perilaku anak.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Anak belajar memahami aturan dan pentingnya menaati batasan yang ada.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Kesadaran akan konsekuensi membuat mereka lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan.</li>
</ul>
Kedisiplinan yang ditanamkan sejak dini dapat membantu anak menjaga diri dan tetap aman dalam berbagai situasi.
<h3>2. Anak Lebih Terarah dalam Mencapai Tujuan</h3>
Strict parents biasanya memiliki harapan tinggi terhadap anak-anak mereka, yang dapat membentuk pola pikir lebih terarah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa:
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Anak-anak dalam lingkungan dengan aturan tegas cenderung memiliki standar yang tinggi terhadap diri mereka sendiri.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Ekspektasi yang tinggi dapat membantu mereka lebih fokus dan berusaha keras dalam mencapai tujuan.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Studi pada mahasiswa di China menunjukkan bahwa pola asuh otoriter berkaitan dengan pencapaian akademik yang lebih tinggi.</li>
</ul>
Dengan terbiasa menghadapi tantangan dan memenuhi ekspektasi sejak kecil, anak-anak dari keluarga strict parenting sering menunjukkan ketekunan dalam mengejar keberhasilan akademik maupun profesional.
Baca Juga: <a href="https://tentanganak.com/artikel/sikap-anak-di-masa-depan-berdasarkan-tipe-parenting/">Prediksi Sikap Anak di Masa Depan Berdasarkan Tipe Parenting</a>
<h2>Dampak Negatif Menjadi Strict Parents untuk Anak</h2>
Meskipun strict parenting memiliki manfaat tertentu, gaya pengasuhan ini juga dapat berdampak negatif pada anak, terutama jika diterapkan secara berlebihan tanpa keseimbangan dengan kasih sayang dan dukungan emosional.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pola asuh otoriter yang terlalu ketat dapat berdampak buruk pada perkembangan akademik, kesehatan mental, dan keterampilan sosial anak.
<h3>1. Prestasi Akademik yang Lebih Rendah</h3>
Berbeda dengan asumsi umum bahwa aturan ketat meningkatkan prestasi akademik, penelitian menunjukkan bahwa:
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Dalam budaya Barat, pola asuh otoriter, permisif, dan tidak terlibat dikaitkan dengan prestasi akademik yang lebih rendah.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Sebaliknya, pola asuh otoritatif (tegas tetapi tetap mendukung dan komunikatif) justru lebih terkait dengan pencapaian akademik yang lebih tinggi.</li>
</ul>
Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak membutuhkan lebih dari sekadar aturan ketat untuk berkembang di bidang akademik&mdash;mereka juga memerlukan bimbingan yang fleksibel dan motivasi intrinsik.
<h3>2. Tingkat Kepuasan Hidup yang Lebih Rendah</h3>
Pola asuh otoriter yang murni dapat berdampak negatif pada kepuasan hidup anak. Sebuah penelitian yang meneliti hubungan antara kepuasan hidup dan gaya pengasuhan menemukan bahwa:
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh otoriter cenderung memiliki tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidup yang lebih rendah.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Efek negatif ini ditemukan dalam studi yang melibatkan 10 negara berbeda, menunjukkan bahwa dampaknya bersifat universal.</li>
</ul>
Ketika anak merasa terlalu dikendalikan dan tidak memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi minat mereka sendiri, mereka bisa merasa kurang puas dengan hidup mereka.
<h3>3. Meningkatkan Risiko Kecemasan dan Depresi</h3>
Beberapa penelitian menemukan adanya hubungan antara strict parenting dan masalah kesehatan mental, termasuk:
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Peningkatan kecemasan dan stres pada anak-anak yang sering merasa takut akan konsekuensi dari aturan ketat.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Risiko depresi yang lebih tinggi akibat kurangnya dukungan emosional dari orang tua.</li>
</ul>
Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang sangat ketat sering kali mengalami tekanan yang besar, yang dapat berdampak pada kesejahteraan emosional mereka dalam jangka panjang.
<h3>4. Kesulitan dalam Mengambil Keputusan</h3>
Pola asuh yang terlalu ketat juga dapat membuat anak-anak mengalami:
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Tingkat kepercayaan diri yang lebih rendah.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Ketergantungan pada orang lain untuk membangun rasa percaya diri mereka.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Kesulitan dalam mengambil keputusan karena mereka terbiasa mencari persetujuan dari orang tua sebelum bertindak.</li>
</ul>
Sebuah studi tahun 2006 pada orang tua di budaya Asia menunjukkan bahwa anak-anak dengan strict parents sering kali memiliki harga diri yang lebih rendah.&nbsp;
Mereka cenderung ragu dalam mengambil keputusan karena takut melakukan kesalahan atau tidak mendapatkan persetujuan dari orang tua mereka.
<h3>5. Intensitas Konflik yang Lebih Tinggi dengan Orang Tua</h3>
Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan dengan aturan yang sangat ketat seringkali lebih cenderung memberontak. Sebuah penelitian di China menemukan bahwa:
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Remaja yang memiliki orang tua dengan pola asuh otoriter atau tidak terlibat melaporkan tingkat konflik yang lebih tinggi dengan orang tua mereka.</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Semakin keras aturan yang diterapkan, semakin tinggi kemungkinan anak untuk melawan atau mencari cara untuk melanggar aturan tersebut.</li>
</ul>
Hal ini dapat menciptakan hubungan yang penuh ketegangan antara orang tua dan anak, yang pada akhirnya bisa merusak komunikasi dan kedekatan emosional dalam keluarga.
<h2>Kesimpulan</h2>
Strict parenting memang dapat memberikan manfaat tertentu, seperti kedisiplinan yang tinggi dan tujuan hidup yang lebih terarah. Namun, gaya pengasuhan yang terlalu ketat juga berisiko menimbulkan dampak negatif, seperti rendahnya kepuasan hidup, meningkatnya kecemasan, serta kesulitan anak dalam mengambil keputusan dan menjalin hubungan sosial.
Sebagai orang tua, penting untuk memahami bahwa setiap anak memiliki kebutuhan dan karakter yang berbeda. Menerapkan pola asuh yang terlalu kaku tanpa mempertimbangkan perasaan dan perkembangan emosional anak justru bisa menghambat pertumbuhan mereka. Oleh karena itu, cobalah untuk tidak terjebak dalam strict parenting yang berlebihan.
Sebagai alternatif, pertimbangkan gaya asuh authoritative parenting, yang mengombinasikan kedisiplinan dengan kehangatan, komunikasi terbuka, serta penghargaan terhadap pendapat anak. Dengan pola asuh ini, orang tua tetap dapat menanamkan nilai-nilai kedisiplinan tanpa mengorbankan kebahagiaan dan kesehatan mental anak.&nbsp;
Memberikan keseimbangan antara aturan dan kebebasan akan membantu anak tumbuh menjadi individu yang mandiri, percaya diri, dan memiliki hubungan yang harmonis dengan orang tua.

Apa Itu Strict Parents dan Dampaknya untuk Anak di Masa Depan

Mimisan disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di hidung. Berikut ini cara mengatasi jika si kecil mengalami mimisan.

Pertolongan Pertama

Masalah Kesehatan

Mimisan atau epistaksis adalah kondisi ketika seseorang mengalami perdarahan dari hidungnya. Mimisan biasanya terjadi ketika pembuluh darah di dalam hidung pecah atau robek. Meski terlihat mengkhawatirkan, pada umumnya mimisan bukanlah suatu kondisi medis yang serius. Jika dibandingkan dengan orang dewasa atau anak yang lebih tua, anak usia 3 tahun hingga 10 tahun lebih rentan mengalami mimisan. Alasannya karena mereka memiliki pembuluh darah yang lebih rapuh dan rentan pecah dibandingkan dengan remaja atau orang dewasa.
&nbsp;
Ingin tahu lebih banyak mengenai penyebab mimisan, cara mencegah dan mengatasinya agar mimisan cepat berhenti? Yuk, baca artikel ini hingga tuntas.
<h2>Penyebab Mimisan pada Anak</h2>
Mimisan pada anak bisa disebabkan oleh banyak hal. Berikut ini adalah beberapa di antaranya:
<h3>1. Udara Kering</h3>
Rendahnya kelembaban atau temperatur yang terlalu panas dapat mengakibatkan udara menjadi kering. Biasanya, dalam kondisi seperti itu membran hidung anak bisa menjadi sangat kering rentan pecah pecah sehingga mengeluarkan darah.
<h3>2. Infeksi Saluran Pernapasan</h3>
Infeksi saluran pernapasan seperti flu, pilek, atau sinusitis dapat menyebabkan peradangan pada saluran pernapasan dan hidung, sehingga memicu mimisan.
<h3>3. Alergi</h3>
Pada anak-anak yang alergi, alergen (zat yang memicu alergi) dapat menyebabkan peradangan pada selaput lendir hidung dan melemahkan pembuluh darah di dalamnya. Hal ini membuat pembuluh darah lebih mudah pecah dan memicu mimisan. Selain itu, saat terkena alergen, hidung anak menghasilkan lebih banyak lendir, sehingga dapat memperparah perdarahan pada pembuluh darah yang robek.
<h3>4. Sering Mencolok Hidung</h3>
Mimisan pada anak juga sering diakibatkan oleh robeknya pembuluh darah di dalam hidung karena terkena jari si kecil.
&nbsp;
<h2>Cara Mengatasi Mimisan dengan Cepat</h2>
Untuk mengatasi anak yang mimisan, ada beberapa langkah yang bisa ayah-bunda lakukan. Pertama, cobalah untuk membuat anak tenang dan nyaman. Setelah dirasa cukup tenang, buatlah si kecil duduk dengan posisi tegak dan sedikit menundukkan kepala. Jangan biarkan dia berbaring karena dapat membuatnya menelan darah. Selain itu, jangan biarkan anak menundukkan kepalanya ke arah lutut karena bisa membuat pendarahan semakin parah.
&nbsp;
Selanjutnya, minta anak untuk bernapas melalui mulut. Saat sudah dapat bernapas melalui mulut, pencet perlahan hidung anak dengan jari selama 5 hingga 10 menit. Kemudian, kompres hidung anak dengan lap dingin. Jangan memasukkan tisu atau kapas ke dalam hidung anak karena dapat memicu perdarahan.
&nbsp;
Jika perdarahan belum berhenti, ulangi langkah-langkah di atas. Setelah perdarahan berhenti, beritahu anak untuk tidak menggosok, menggaruk, atau mengeluarkan ingus selama 2 hingga 3 hari ke depan. Hal ini akan membantu pembuluh darah yang pecah untuk sembuh.
<h2>Cara Efektif Mencegah Mimisan</h2>
Jika si kecil memang sering mengalami mimisan, ayah-bunda dapat melakukan pencegahan dengan sejumlah cara berikut:
&nbsp;
<ol>
<li> Gunakan pelembab udara di kamar anak pada malam hari. Bersihkan pelembap secara teratur agar tidak tumbuh kuman dan jamur di dalamnya.</li>
</ol>
&nbsp;
<ol start="2">
<li> Ajari anak untuk tidak mengorek hidung atau mengeluarkan ingus terlalu keras.</li>
</ol>
&nbsp;
<ol start="3">
<li> Oleskan petroleum jelly di dalam lubang hidung anak beberapa kali sehari. Hal ini untuk membantu melindungi selaput lendir.</li>
</ol>
&nbsp;
<ol start="4">
<li> Gunakan obat tetes hidung atau semprotan air garam (saline). Pastikan untuk berkonsultasi dulu dengan dokter anak.</li>
</ol>
&nbsp;
<ol start="5">
<li> Pastikan rumah bebas asap rokok.</li>
</ol>
 Foto: Designed by freepik
Sumber:
https://www.hopkinsmedicine.org/health/conditions-and-diseases/nosebleeds#:~:text=What%20is%20a%20nosebleed%20in,nose%20close%20to%20the%20nostrils.

Penyebab Mimisan pada Anak dan Cara Mengatasinya


Memenuhi nutrisi anak dengan zat besi untuk mencegah anemia yang dapat mengganggu tumbuh kembangnya, dan ternyata juga berdampak oada hasil vaksinasi. Kok bisa? Simak selengkapnya!

Anak yang sudah mengonsumsi berbagai jenis makanan harus selalu diperhatikan kandungan gizinya, hal ini agar kebutuhan vitamin, mineral, protein, dan lainnya cukup sesuai usianya.
Salah satu kandungan yang penting untuk dukung pertumbuhan dan perkembangan anak yaitu zat besi, di dalam tubuh zat besi akan membantu darah dalam membawa oksigen ke seluruh tubuh. Kemudian jika anak mengalami kekurangan zat besi memicu anak mengalami kondisi anemia hingga gangguan tumbuh kembang.&nbsp;
Ternyata bukan hanya itu Ayah Bunda, dampak negatif bila anak tidak mendapatkan zat besi akan mempengaruhi sistem imunitas. Studi pada lebih dari 500 balita menunjukkan defisiensi besi menurunkan respons pembetikkan antibodi terhadap vaksin DPT dan PCV.
Suplementasi besi meningkatkan respons imun pembentukan antibodi terhadap vaksin campak. Zat besi memang dibutuhkan untuk perkembangan sel limfosit yang berperan dalam mengaja imunitas. Jika zat besi dalam tubuh tidak cukup maka proses pembentukkan imunitas ini setelah vaksinasi akan menjadi kurang optimal. Lalu, apa penyebabnya ya?
<h2>Penyebab umum anak kekurangan zat besi</h2>
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Pemberian makan kurang seimbang</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Adanya infeksi</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Gangguan penyerapan makanan dalam usus</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Perdarahan saluran cerna</li>
</ul>
Nah, Ayah Bunda sudah tahu kan penyebab umumnya anak kekurangan zat besi, sekarang satnya Ayah Bunda mencegahnya dengan 4 cara berikut ini&nbsp;
<h2>4 Langkah Pencegahan Anak Kekurangan Zat Besi</h2>
<h3>1. Pemberian suplemen zat besi</h3>
Dosis suplementasi zat besi yang diperlukani sesuai usia anak
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Bayi Berat badan baru lahir berat kurang dari 2500g dosisnya 3mg/kgBB/hari dengan lama pemberian usia 1 bulan sampai 2 tahun</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Bayi cukup bulan dosisnya 2 mg/kgBB/hari dengan lama pemberian usia 4 bulan-2 tahun</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Anak 2 - 12 tahun diberikan zat besi dengan dosis 1 mg/kgBB/hari dengan lama pemberian 2 kali seminggu selama 3 bulan berturut-turut tiap tahun</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Anak usia 12-18 tahun dosis pemberian zat besi 60 mg/hari dengan lama pemberian 2 kali seminggu selama 3 bulan berturut-turut tiap tahun</li>
</ul>
<h3>2. Lakukan skrining zat besi pada usia 12 bulan</h3>
Skrining zat besi dilakukan untuk anak usia 12 bulan sesuai dengan rekomendasi American Academy of Pediatrics terutama pada anak dengan:
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Lahir prematur atau BBLR</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Menyusui eksklusif lebih dari 4 bulan tanpa suplementasi besi</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Asupan MPASI yang rendah</li>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Riwayat gangguan makan atau pertumbuhan</li>
</ul>
<h3>3. Sediakan makanan yang kaya zat besi setiap hari</h3>
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Ikan</li>
</ul>
Di dalam ikan terdapat kandungan zat besi, omega-3, hingga vitamin D yang sangat baik untuk tumbuh kembang anak. Salah satu ikan yang direkomendasikan adalah tuna yang memiliki 1,4 mg zat besi dalam 85 gram.
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Hati Ayam</li>
</ul>
Hati ayam cenderung memiliki harga lebih terjangkau daripada daging merah/sapi. Hati ayam bisa jadi alternatif pengganti daging merah untuk si kecil karena memiliki 10 mg zat besi dalam setiap 100 gramnya.
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Telur Ayam</li>
</ul>
Telur adalah sumber nutrisi esensial yang mengandung 1,2 mg zat besi dalam 100 gram-nya. Selain zat besi, telur juga memiliki kandungan protein dan vitamin D, E, B5, B12 hingga A. Nutrisi tersebut sangat baik untuk memori dan kekebalan tubuh.&nbsp;
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Bayam</li>
</ul>
Beberapa sayur-sayuran juga memiliki asupan zat besi yang baik, salah satunya adalah bayam. Kandungan zat besi yang dimiliki bayam adalah diantara 2,1 dan 2,7 mg/100 gram. Manfaat bayam untuk bayi sangat baik untuk pertumbuhan tulang dan mempertajam penglihatan bayi.&nbsp;
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Brokoli</li>
</ul>
Sayuran ini bisa memenuhi zat besi harian. Dalam 100 gram brokoli, terdapat 1 mg zat besi di dalamnya.&nbsp;
AyBun dapat mengenalkan brokoli sebagai makanan pendamping ASI pada bayi ketika berusia 10 bulan.&nbsp;
<ul>
<li style="font-weight: 400;" aria-level="1">Kacang-Kacangan</li>
</ul>
Kacang-kacangan adalah alternatif sumber zat besi yang juga memiliki tinggi protein. Beberapa jenis kacang-kacangan, seperti kacang almond, kacang polong, kacang kedelai, kacang hijau, hingga kancang lentil.
<h3>4. Tingkatkan penyerapan zat besi non heme</h3>
Ayah Bunda bisa lakukan ini dengan menyediakan susu sapi, telur, bayam, dan kacang-kacangan. Bisa dikonsumsi bersamaan dengan asupan vitamin C misalnya jeruk, tetapi tdak dapat dikonsumsi dengan makanan yang mengandung kalsium, tannin, dan fitat misalnya susu, teh, biji-bijian.
Jadi sudahkah si Kecil mencukupi kebutuhan zat besinya? Yuk, lengkapi dosis suplementasi sesuai dengan usia anak dan Pantau perkembangan si Kecil melalui aplikasi Tentang Anak!
Foto: Freepik.com
Sumber:
Stoffel NU, Uyoga MA, Mutuku FM, Frost JN, Mwasi E, Paganini D, dkk. Iron deficiency anemia at time of vaccination predicts decreased vaccine response and iron supplementation at time of vaccination increases humoral vaccine response: a birth cohort study and a randomized trial follow-up study in Kenyan infants. 2020;11:1313.&nbsp;
IDAI. Rekomendasi IDAI: suplementasi besi untuk anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2011.&nbsp;
Baker RD, Greer FR, AAP Committee on Nutrition. Diagnosis and prevention of iron deficiency and iron-deficiency anemia in infants and young children (0&ndash;3 years of age). Pediatrics. 2010;126:1040-50
https://www.canada.ca/en/health-canada/services/food-nutrition/healthy-eating/dietary-reference-intakes/tables/reference-values-elements-dietary-reference-intakes-tables-2005.html&nbsp;

Studi: Anak Kekurangan Zat Besi Akan Pengaruhi Hasil Vaksinasi

Fase ini adalah masa transisi anak menuju ke masa dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik biologi, kapan seharusnya anak mengalami pubertas?

Remaja

Pubertas adalah fase transisi anak menuju ke masa dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik-biologis dan psikis. Umumnya terjadi lebih awal pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki. Lalu, perubahan fisik seperti apa yang normal pada masa pubertas?
Tahapan pubertas anak perempuan akan dimulai sejak usia 8 sampai 13 tahun dengan ditandai ciri berikut.
<h2>&nbsp;4 Tanda Anak Perempuan Alami Pubertas</h2>
<ol>
<li> Payudara mulai menonjol dan ada nyeri spontan saat tidak sengaja tersentuh</li>
<li> Pertambahan tinggi badan secara pesat sekitar 9 cm/tahun</li>
<li> Tumbuhnya rambut kemaluan</li>
<li> Menstruasi</li>
</ol>
Sedangkan, tahapan pubertas anak laki-laki ditandai dimulai sejak usia 9 sampai 14 tahun dengan tanda di antaranya:
<ol>
<li> Pertambahan volume testis mencapai 4 mL</li>
<li> Tumbuhnya rambut kemaluan</li>
<li> Pertambahan tinggi badan secara pesat sekitar 10 cm/tahun</li>
<li> Munculnya jakun dan kumis</li>
<li> Mimpi basah</li>
</ol>
Semua tahapan pubertas anak harus berjalan secara berurutan! Ayah Bunda dapat melakukan hal-hal berikut untuk mengoptimalkan masa pubertas anak, seperti membiasakan ia:
- Makan makanan sehat dan bergizi seimbang
- Melakukan aktivitas fisik secara rutin
- Terbuka dan jujur pada Ayah Bunda mengenai perubahan fisik maupun psikologisnya.
Ada beberapa anak yang mengalami lebih cepat puber ketimbang anak lain seusianya. Masa pubertas yang datang terlalu cepat dapat berdampak buruk pada kondisi anak. Anak perempuan yang melewati pubertas lebih awal, rentan mengalami serangan panik, depresi, dan ketidakpuasan bentuk tubuh. Mengapa anak lebih cepat puber ketimbang anak lain seusianya?&nbsp;
Masa pubertas yang dialami lebih cepat menyebabkan perubahan bentuk serta ukuran tubuh anak-anak. Anak perempuan dikatakan mengalami pubertas lebih cepat ketika menjalani menstruasi sebelum usia 8 tahun, pada anak laki-laki, pubertas dini terjadi dengan tanda perubahan suara yang menjadi lebih berat, tumbuh rambut halus, serta pembesaran testis atau penis sebelum memasuki usia 9 tahun.
Selain itu, gejala umum lainnya adalah munculnya masalah jerawat pada wajah, pertumbuhan tinggi yang menjadi lebih pesat, dan muncul aroma badan seperti orang dewasa. Selain para remaja, baiknya Ayah Bunda juga memerhatikan dan memahami tanda-tanda pubertas yang dialami anak dengan baik.
<h3>Dampak Pubertas Dini pada Anak</h3>
Jika pubertas berhenti, pertambahan tinggi badan anak juga berhenti karena tulang kerangka matang dan pertumbuhan tulang berhenti pada usia yang lebih dini dari normalnya. Pertumbuhan dini dapat membuat mereka yang awalnya lebih tinggi dari teman seusianya, tapi berhenti tumbuh terlalu cepat dan meyebabkan tinggi badan yang lebih pendek dari yang seharusnya mereka peroleh.
Menjalani pubertas dini juga bisa sulit bagi anak secara emosi dan sosial misalnya, anak perempuan dengan pubertas dini bisa bingung atau malu tentang perubahan fisiknya seperti menstruasi atau payudara yang membesar sebelum teman seusianya mengalami kondisi tersebut. Namun, bagian tersulit adalah menghadapi berbagai ucapan yang kerap didapat oleh anak dengan kondisi ini, terutama pada anak perempuan. Emosi dan perilaku bisa berubah pada anak dengan pubertas dini. Anak perempuan bisa sangat cepat marah dan beralih emosi. Jika pubertas dini ini terjadi pada anak laki-laki, ia akan menjadi lebih agresif dan memiliki libido yang tidak tepat untuk usianya.
Nah, Ayah Bunda selalu kenali bagaimana kondisi si Kecil ya, pantau terus si Kecil sekalipun ia sudah memasuki usia sekolah dan remaja karena mulai adanya perkembangan hormon yang juga berpengaruh pada kesehatannya. Jika ada yang ingin ditanyakan lebih lanjut, yuk gunakan aplikasi Tentang Anak untuk konsultasi bersama dokter spesialis anak dan psikolog anak!
Sumber:
https://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/kapan-anak-dikatakan-mengalami-pubertas
Ditinjau oleh:
dr. Ganda Ilmana, Sp.A